Pengembangan Koperasi Terganjal

Dalam dasawarsa terakhir, tren pertumbuhan volume usaha koperasi yang notabene ekonomi berbasis sosial kerakyatan di Tanah Air ini makin membanggakan. Tiga tahun terakhir hingga 2012 kemarin, pertumbuhan volume usaha koperasi telah menunjukkan angka signifikan. Tahun 2010 lalu, volume usaha tercatat 76,8 triliun rupiah, sedangkan dua tahun berikutnya, yakni 2011 dan 2012, masing-masing telah tercatat 95,1 triliun dan 119,2 triliun rupiah.

Apabila regulasinya membuka peluang koperasi untuk tumbuh bebas, pengamat ekonomi meyakini pertumbuhan volume usaha koperasi makin fantastis. Selama ini, regulasi koperasi belum mampu memberikan gebrakan dan dinilai masih hanya melanggengkan kepentingan para kapitalis ketimbang mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat kecil melalui usaha koperasi.

Pendek kata, pertumbuhan koperasi dari 1967 sampai sekarang masih terganjal. Lahirnya UU No 17/2012 tentang Perkoperasian dan UU No 1/2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), misalnya, terlihat prematur. Hanya berselang tiga bulan, DPR telah mengetuk palu menyetujui lahirnya undang-undang (UU) tersebut. Sama seperti waktu penerbitannya yang berimpitan, isi UU keduanya juga saling bergesekan. Contoh sangat jelas pangkal adanya gesekan pada kedua UU tersebut salah satunya terjadi dalam penetapan badan hukum.

Opsi badan hukum bagi LKM menjadi sangat kelihatan ganjil karena LKM semestinya tunduk pada UU LKM, bukan pada UU Perkoperasian. Demikian juga soal pengawasan yang tidak berada di bawah otoritas Kementerian Koperasi dan UKM, melainkan di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Celah lainnya LKM bisa menggunakan badan hukum perseroan terbatas (PT), namun kepemilikan sahamnya paling sedikit (60 persen) harus dimiliki pemerintah daerah/kabupaten/kota, atau badan usaha milik desa/ kelurahan.

Tentu saja, LKM yang sejak awal dikembangkan secara swadaya mereka memilih dan lebih sreg dengan badan hukum koperasi. Pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Dani Setiawan, mengatakan secara mendasar, UU tentang Perkoperasian melanjutkan kesalahpahaman atau upaya mendistorsi makna sesungguhnya, dari pendirian koperasi sebagai lembaga ekonomi sesuai dengan amanat konstitusi (Pasal 33 UUD 1945).

Kesalahan itu dimulai sejak zaman Orde Baru, ketika Presiden Soeharto memperkenalkan UU No 12/1967 tentang Koperasi. Salah satu kerancuannya adalah soal defi nisi anggota koperasi. Dalam UU Tahun 1958 zaman pemerintahan Orde Lama, jelas yang menjadi anggota koperasi adalah kelompok atau orang yang memiliki atau memunyai "kepentingan yang sama" dalam lapangan usaha koperasi.

Tetapi dalam UU No 12/1967 dan UU 17/2012, disebutkan anggota koperasi adalah orang-orang yang memiliki "kesamaan kepentingan" dalam lapangan usaha koperasi. Sejak itu, Indonesia diperkenalkan munculnya koperasi-koperasi golongan fungsional, seperti koperasi pegawai negeri, koperasi dosen, dan koperasi anggota TNI/Polri.

Dalam defi nisi UU tahun 1958, setiap orang yang memunyai kepentingan, apakah itu koperasi, pekerja koperasi, konsumen koperasi boleh menjadi anggota koperasi sehingga tidak dibatasi oleh kesamaan kepentingan dalam lapangan usaha koperasi. "Saya kira, salah satu masalah dalam UU Perkoperasian yang baru," kata Dani.

Lengkapi Aturan

Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM, Agus Muharram, pernah menegaskan UU Perkoperasian implementasinya akan didukung melalui penyusunan 10 PP dan 5 Kepmenkop. Sehingga kemudian dari peraturan tersebut bisa digabung menjadi 6 PP seperti yang diperlukan. Agus mengatakan perlu dua tahun untuk merampungkan PP dan peraturan menteri (Permen).

Sepuluh PP diperlukan, di antaranya terkait ketentuan tata cara pemakaian nama koperasi dan jenis koperasi. Kemudian Permen yang diamanatkan mencakup ketentuan tata cara dan persyaratan permohonan pengesahan koperasi sebagai badan hukum, persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu dan kantor kas, pengawasan dan pemeriksaan koperasi.

Menanggapi perihal banyaknya PP, Agus menyatakan hal itu termasuk juga untuk merealisasikan lahirnya koperasi syariah, seperti yang tertuang dalam draf PP UU Perkoperasian terbaru. Sebab, katanya telah dikonsep Permen berikut pedoman pelaksanaannya. Sementara untuk pemakaian nama, jenis usaha, dan lainnya, bisa disatukan dalam satu PP sehingga bisa dirampungkan dalam dua tahun. (Koran Jakarta, 18 Maret 2013).