Lembaga Keuangan Mikro: Energi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat ?

tabel 1


tabel 2

I. Latar Belakang

Sebagaimana dimaklumi 97 % usaha kecil di Indonesia memiliki omset dibawah Rp. 50 Juta/tahun, meskipun batas atas omset usaha kecil adalah sampai Rp. 1 Miliar. Pada dasarnya jika Indonesia ingin menjangkau usaha kecil terutama usaha kecil-kecil atau usaha mikro tersebut semestinya secara khusus mengarahkan perhatiannya pada kelompok ini karena mereka mewakili lebih dari 33 Juta pelaku usaha. Sampai saat ini hampir belum terlihat adanya program khusus pemberdayaan usaha mikro, padahal lapisan inilah penyedia lapangan kerja terbesar di Indonesia. Dalam setiap usaha pemberdayaan usaha kecil setelah ada tiga aspek penting yang perlu dikembangkan yaitu : Pertama, lingkungan kondusif dan sistem administrasi pemerintahan yang mendukung; Kedua, dukungan non finansial berupa jasa Perkreditan; Ketiga, dan dukungan finansial yang khusus ditujukan bagi usaha kecil.

Di sub-sektor perdagangan umum misalnya, sekitar 80% usaha perdagangan eceran yang tidak berbadan hukum yang diwakili oleh 5,2 juta unit usaha hanya memiliki omset dibawah Rp. 5 juta/tahun, sehingga jumlah usaha ekonomi rakyat lapis bawah ini benar-benar dengan skala gurem. Program yang secara bersinggungan mencoba mengatasi masalah ini pada umumnya masih dikaitkan dengan program penanggulangan kemiskinan. Untuk tidak mereka mencampuradukan permasalahan, maka tawaran pendekatan yang dapat kita manfaatkan adalah dengan melihat sisi kehidupan masyarakat ini dari dua sisi : Pertama, sebagai penduduk aktif maka kegiatan ekonomi baik dalam bentuk produksi barang maupun jasa harus kita perlakukan sebagai usaha mikro sehingga tujuan utamanya adalah meningkatkan produktivitas dan kapasitas produktifnya; Kedua, sebagai rumah tangga konsumen setiap pendapatan/pengeluaran masyarakat yang masih belum melampaui batas garis kemiskinan harus kita perlakukan sebagai penduduk miskin yang harus kita tingkatkan kondisi kehidupannya hingga melewati batas tersebut.

Untuk mendorong usaha mikro ini memang disadari bahwa modal bukan satu-satunya pemecahan, tetapi tetap saja bahwa ketersediaan permodalan yang secara mudah dapat dijangkau mereka sangat vital, karena pada dasarnya kelompok inilah yang selalu menjadi korban eksploitasi oleh pelepas uang. Salah satu sebabnya adalah ketiadaan pasar keuangan yang sehat bagi masyarakat lapisan bawah ini, sehingga setiap upaya untuk mendorong produktivitas oleh kelompok ini, nilai tambahnya terbang dan dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tidak terlepas dari keberadaan Lembaga Keuangan yang hadir ditengah masyarakat.

Lingkaran setan yang melahirkan jebakan ketidak berdayaan inilah yang menjadikan alasan penting mengapa lembaga keuangan mikro yang menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro menempati tempat yang sangat strategis. Oleh karena itu kita perlu memahami secara baik berbagai aspek lembaga keuangan mikro dengan segmen-segmen pasar yang masih sangat beragam disamping juga masing-masing terkotak-kotak.

Usaha mikro sering digambarkan sebagai kelompok yang kemampuan permodalan UKM rendah. Rendahnya akses UKM terhadap lembaga keuangan formal, sehingga hanya 12 % UKM akses terhadap kredit bank karena :

1. Produk bank tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UKM;
2. Adanya anggapan berlebihan terhadap besarnya resiko kredit UKM;
3. Biaya transaksi kredit UKM relatif tinggi;
4. Persyaratan bank teknis kurang dipenuhi (agunan, proposal);
5. Terbatasnya akses UKM terhadap pembiayaan equity;
6. Monitoring dan koleksi kredit UKM tidak efisien;
7. Bantuan teknis belum efektif dan masih harus disediakan oleh bank sendiri sehingga biaya pelayanan UKM mahal;
8. Bank pada umumnya belum terbiasa dengan pembiayaan kepada UKM.

Secara singkat kredit perbankan diselenggarakan atas pertimbangan komersial membuat UKM sulit memenuhi persyaratan teknis perbankan, terutama soal agunan dan persyaratan administratif lainnya.

II. Kredit Mikro: Batasan dan Kelembagaan

Indonesia memiliki sejarah panjang dan kaya akan ragam modal pembiayaan mikro. Pengalaman dan kekayaan ini meliputi jenis produk pembiayaan mikro maupun lembaga pelaksananya, bahkan juga sejarah pengenalannya kepada masyarakat. Oleh karena itu kekayaan ini tidak bakal dibiarkan begitu saja dan disia-siakan untuk tidak diberikan tempat terhormat untuk dikembangkan. Desakan akan pentingnya pengembangan ini akan semakin terasa setelah krisis perbankan melanda Indonesia, sehingga perbankan lumpuh dan tidak dapat menjadi lembaga yang efektif lagi.

Memang disadari bahwa pengertian kredit mikro dapat diartikan bermacam-macam, karena memang produk kredit mikro sendiri tidak homogen dan lembaga pelaksanaannya juga bermacam-macam ditinjau dari segi sifat dan status legalnya. Perbedaan-perbedaan ini juga merupakan ciri segmentasi pasar yang perlu dipahami dan bahkan dapat dilihat sebagai mekanisme fungsional dalam pembagian pasar dan target sasaran. Pemahaman ini diperlukan bagi penetapan kebijakan sesuai kelompok sasaran yang hendak dituju. Demikian latar belakang program pengenalannya juga sangat terkait dengan munculnya tantangan yang dihadapi masyarakat ketika itu, namun demikian pembiayaan mikro tetap mempunyai unipersatitas sebagai penyedia jasa keuangan bagai usaha mikro dan kecil.

Perkreditan mikro selain dilihat dari segi produk dan kelembagaannya juga dapat dilihat dari segi “permintaan dan penawaran” atau dari sudut sumber dan penggunaan. Gambaran ini akan menjelaskan pembagian kerja fungsional antar lembaga perkreditan mikro dengan berbagai kelompok sasaran berdasarkan tingkat pendapatan dan bahkan dapat sangat terkait dengan penggunaan kredit. Pendekatan ini sekaligus untuk memahami dinamika perkembangan lembaga perkreditan mikro bagi pengembangan ekonomi rakyat.

Pada dasarnya kredit dapat dibedakan dalam dua sifat penggunaan yaitu kredit produktif dan kredit konsumtif. Untuk melihat sejauh mana sektor-sektor ekonomi produktif memberikan tanda adanya permintaan pasar yang kuat perlu dikaji struktur ekonomi masing-masing sektor berdasarkan atas pelaku usaha, disamping itu juga kaitan dengan sasaran ekspor dan tersedianya dana sendiri oleh para pelaku usaha. Ciri pasar kredit mikro adalah kecepatan pelayanan dan kesesuaian dengan kebutuhan pengusaha mikro.

Berdasarkan nilai kredit maka besarnya kredit yang tergolong ke dalam kredit mikro lazimnya disepakati oleh perbankan untuk pinjaman sampai dengan Rp. 50 juta/nasabah dapat digolongkan kedalam kredit mikro. Ada yang berpendapat bahwa dalam masyarakat perbankan internasional kredit mikro dapat mencapai maksimum US $ 1000,-. Di Thailand baru dalam taraf pilot project oleh Bank for Agriculture and Agricultural Cooperative (BAAC) menetapkan kredit mikro adalah kredit dengan jumlah maksimum Bath 100.000/nasabah atau setara dengan US $ 2.500,-. Dengan demikian kredit mikro pada dasarnya menjangkau pada pengusaha kecil lapis bawah yang memiliki usaha dengan perputaran yang cepat.

Lembaga perkreditan mikro di Indonesia pada dasarnya ada dua kelompok besar yakni Pertama, Bank terutama BRI unit dan BPR yang beroperasi sampai ke pelosok tanah air; dan kelompok yang Kedua adalah koperasi, baik koperasi simpan pinjam yang khusus melayani jasa keuangan maupun unit usaha simpan pinjam dalam berbagai macam koperasi. Disamping itu terdapat LKM lain yang diperkenalkan oleh berbagai lembaga baik pemerintah seperti Lembaga Kredit Desa, Badan Kredit Kecamatan dan lain-lain, maupun swasta/lembaga non pemerintah seperti yayasan, LSM, dan LKM lainnya termasuk lembaga keagamaan.

Pada gambar 1 dapat diperlihatkan pada bagian atas adalah sumber dana atau modal yang dapat diakses oleh usaha kecil dan sekaligus lembaga yang menanganinya. Dari gambar tersebut secara fungsional memang terlihat bahwa masing-masing lembaga perkreditan mempunyai segmen-segmen pasar tersendiri. Pada garis ke kanan menggambarkan, bahwa untuk mencapai tujuan peningkatan investasi atau penggunaan modal untuk proses nilai tambah, ada dua jenis langkah yang harus ditempuh yaitu pada lembaga keuangan modern maka yang terpenting adalah bagaimana memperbaiki akses oleh UKM terhadap fasilitas pembiayaan yang telah disediakan. Sementara pada kelompok penyedia kredit mikro yang berskala sangat kecil perlu pengembangan jaringan kelembagaannya agar efektif dalam pelayanan.

Pada bagian lain dapat dilihat kelompok pengguna dana dan jumlah unit usaha / nasabah potensial yang dapat dilayani oleh masing-masing Lembaga Keuangan. Gambar ini memberikan penjelasan secara rinci segmen besaran pinjaman dan khalayah sasaran yang dapat dijadikan nasabah, sehingga setiap pengembang program akan secara mudah mengenali kearah mana mereka akan membawa program dan dukungan LKM yang diperlukan sesuai dengan kelembagaan. Dari sini juga sekaligus akan menjelaskan jumlah sasaran potensial sehingga secara mudah kita akan mampu mengenali kelompok mana yang paling terpinggirkan dari pelayanan kredit.

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia telah membuktikan bahwa :

1. Tumbuh dan berkembang di masyarakat serta melayani usaha mikro dan kecil (UKM);
2. Diterima sebagai sumber pembiayaan anggotanya (UKM);
3. Mandiri dan mengakar di masyarakat;
4. Jumlah cukup banyak dan penyebaran nya meluas;
5. Berada dekat dengan masyarakat, dapat menjangkau (melayani) anggota dan masyarakat;
6. Memiliki prosedur dan persyaratan peminjaman dana yang dapat dipenuhi anggotanya (tanpa agunan);
7. Membantu memecahkan masalah kebutuhan dana yang selama ini tidak bisa dijangkau oleh kelompok miskin;
8. Mengurangi berkembangnya pelepas uang (money lenders);
9. Membantu menggerakkan usaha produktif masyarakat dan ;
10. LKM dimiliki sendiri oleh masyarakat sehingga setiap surplus yang dihasilkan oleh LKM bukan bank dapat kembali dinikmati oleh para nasabah sebagai pemilik.

Keunggulan diatas menyebabkan LKM sangat penting dalam pengembangan usaha kecil karena merupakan sumber pembiayaan yang mudah diakses oleh UKM (terutama usaha mikro). Pelajaran BRI-Unit sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) telah memberikan pelayanannya sampai ke pelosok tanah air dengan tingkat bunga pasar dan tidak ada memerlukan subsidi. Disamping itu secara empiris tingkat pengembalian baik, mutu pelayanan lebih penting dan mengenal orang dan memahami nasabah serta cash flow sebagai pengganti kollateral phisik. Pendekatan kelompok juga terbukti efektif sebagai pressure group dan mengurangi biaya dan resiko dalam penyaluran.

Lembaga keuangan mikro lainnya yang akhir-akhir ini tumbuh pesat adalah lembaga keuangan syariah yang penyelenggaraannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Lembaga keuangan syariah terdiri dari bank khusus (bank muamalat) dan bank lain serta BPR-S, sedangkan yang berbentuk bukan bank terdiri dari Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) dibawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), Baitul Tamwil (BTM) yang dikembangkan oleh Baitul Mal Muhammadiyah dan Koperasi Syirkah Muawanah yang digairahkan oleh pesantren-pesantren. Status legalnya ada yang berbentuk koperasi, tetapi tidak jarang masih dalam pembinaan yayasan atau sama sekali tidak terkait dengan institusi pengembang.

III. Potensi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro

Bentuk lain kredit mikro yang diakui keberhasilannya oleh dunia adalah pola Grameen Bank yang dirancang untuk memecahkan Perkreditan bagi keluarga miskin. Modal ini terbukti telah berhasil membangkitkan kegiatan ekonomi bagi kelompok penduduk miskin di Bangladesh, sehingga dianggap sangat sesuai untuk memecahkan penyediaan modal bagi penciptaan kegiatan produktif untuk penduduk miskin. Mat Syukur (2001) dalam hasil studinya mengemukakan bahwa Karya Usaha Mandiri (KUM) yang merupakan reflikasi gremeen bank sangat efektif sebagai instrumen delivery untuk kelompok sasaran, namun sustainability dari program ini tanpa dukungan dari luar yang terus menerus masih dipertanyakan, demikian juga daya saing terhadap produk kredit mikro lain belum secara nyata menunjukan keunggulannya. Di dunia memang diakui bahwa Grameen Bank adalah sistem perbankan sosial yang terbaik dan paling berhasil, sehingga menjadi model yang tepat sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi kelompok penduduk miskin.

Jika BRI unit telah diakui sebagai The Biggest and The Best Micro Banking System in the world, maka Grameen Bank adalah The Best Social Banking System, perbedaannya terletak pada kemampuan untuk memobilisasi dana masyarakat dan kegiatan usaha secara komersial yang sehat tanpa subsidi untuk perbankan mikro seperti yang telah ditunjukkan BRI-Unit. Sementara Grameen Bank terletak pada kemampuannya untuk menjangkau masyarakat miskin menjadi produktif dan siap masuk dalam arus kegiatan ekonomi biasa serta memanfaatkan mekanisme perbankan yang biasa, meskipun akhirnya juga dikerjakan oleh Grameen Bank sendiri tapi tidak tertutup untuk menjadi nasabah bank lain. Di Indonesia yang memiliki kekuatan koperasi sebagai sumber pembiayaan mikro terbesar kedua setelah BRI-Unit, struktur kelembagaannya masih sangat terfragmentasi dan belum bergerak sebagai sistem kembaga keuangan yang efisien, oleh karena daya dobraknya tidak dapat kelihatan meluas dan terkesan kurang produktif. Di negara seperti Kanada, India, Korea, dan lain-lain lembaga keuangan mikro yang diselenggarakan koperasi menjadi kekuatan efektif untuk pembiayaan anggota koperasi baik para petani, peternak, produsen, maupun konsumen.

Pada dasarnya potensi pengembangan LKM masih cukup luas karena :

1. Usaha mikro dan kecil belum seluruhnya dapat dilayani atau dijangkau oleh LKM yang ada
2. LKM berada di tengah masyarakat
3. Ada potensi menabung oleh masyarakat karena rendahnya penyerapan investasi didaerah, terutama di pedesaan
4. Dukungan dari lembaga dalam negeri dan internasional cukup kuat

Segmentasi pasar lembaga keuangan mikro pada umumnya adalah kelompok usaha mikro yang dianggap oleh bank :

1. Tidak memiliki persyaratan yang memadai
2. Tidak memiliki agunan yang cukup
3. Biaya transaksinya mahal / tinggi
4. Lokasi kelompok miskin tidak berada dalam jangkauan kantor cabangnya

Permintaan kredit bagi Lembaga Keuangan Mikro dapat diperhitungkan masih sangat luas dan segmennya bermacam-macam. Hal ini mengingat sebagian besar kelompok usaha mikro belum dapat dilayani oleh bank. Kelompok peminjam tersebut meliputi usaha produktif masyarakat yang memiliki perputaran usaha tinggi dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja. (lihat tabel 1)

Dilihat dari besarnya kredit yang disalurkan maka dua kekuatan besar penyelenggara kredit mikro adalah BRI-unit dan koperasi (KSP dan USP) yang masing-masing menyumbang sebesar 46 % dan 31 % terhadap total kredit mikro. Ditinjau dari jangkauan pelayanan memang koperasi yang paling doniman baik dari segi titik pelayanan (unit lembaga) maupun nasabah (peminjam), kemudian BRI menempati urutan kedua dalam jumlah nasabah dan BKD dalam titik pelayanan. Jika diamati lebih lanjut segmen kredit mikro papan atas memang sebagian terbesar ditangani BRI meskipun rata-rata peminjamnya hanya Rp. 2.439.000 jauh dibawah batas maksimum Rp. 50 Juta. Sementara BPR masih merupakan lembaga yang meminjamkan dananya dibawah BRI. Koperasi dan perkreditan lain nampaknya benar-benar melayani lapisan paling bawah dari pelaku kegiatan produktif karena secara rata-rata menangani peminjam dibawah Rp. 1 Juta.

Ditinjau dari kemampuan memobilisasi dana masyarakat hampir semua LKM, kecuali BRI unit sangat lemah sebagaimana ditunjukkan oleh angka LDR diatas 1. BRI unit yang berhasil memobilisasi tabungan mencapai Rp. 17 triliun lebih hanya meminjamkan sekitar Rp. 6,1 triliun, LDKP meskipun kecil sangat lokal dan terbatas mempunyai kemampuan mobilisasi tabungan masyarakat yang cukup bagus. Dalam kaitan dengan koperasi ketidak mampuan mobilisasi tabungan ini bersumber dari dua hal :

1. Koperasi memungkinkan menggunakan “modal penyertaan” sesuai ketentuan UU 25/1992 yang dapat memberikan konsesi pada keikutsertaan pengelolaan sebagai pengganti jaminan bagi deposito yang tidak dimiliki oleh koperasi, tapi hanya ada pada bank.
2. Istilah deposito tidak dikenal dalam koperasi yang ada adalah tabungan dan biasanya tabungan sering diperlakukan sebagai modal luar saja. Hal ini menyebabkan data deposito menjadi “under recorded” atau tidak tercatat pada posnya. Jika modal penyertaan dan tabungan lain dicatat sebagai deposit pasti angka LDR setidak-tidaknya mendekati LKDP, karena sifat koperasi yang selalu mengutamakan prinsip pelayanan dari, oleh dan untuk anggota.

IV Kredit Usaha Tani (KUT)

Salah satu bentuk perkreditan mikro yang dikhususkan bagi pembiayaan pertanian pangan, khususnya padi yakni Kredit Usaha Tani (KUT). KUT dibiayai dari kredit likuiditas Bank Indonesia dan disalurkan melalui Bank Rakyat Indonesia dan kemudian beberapa bank lainnya. Pelaksanaan penyaluran kredit kepada petani dilaksanakan oleh KUD dan sejak 1999 diperluas melalui koperasi-koperasi lain. Pengalaman KUT sebagai program pemerintah menarik untuk dikaji sebagai salah satu pengalaman tersendiri dalam khazanah pengembangan kredit mikro.

Program Kredit Usaha Tani (KUT) yang dimulai sejak musim tanam tahun 1985, dimaksudkan sebagai upaya untuk mendukung peningkatan produksi beras dalam negeri melalui penyediaan permodalan bagi petani dalam melakukan usaha tani padi. Program KUT ini pada dasarnya merupakan pengganti kredit BIMAS yang dinilai gagal dan menjadi terlalu mahal kalau diselenggarakan oleh Bank sendiri. Disamping itu juga dikembangkan dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada KUD dalam pelayanan kepada petani yang potensial menjadi anggota. Untuk itu sejak Musim Tanam (MT) 1985 sampai dengan MT 1996 telah disediakan dana untuk setiap tahunnya sekitar Rp 200 miliar. Besarnya dana yang disediakan pada setiap tahun tersebut hanya dapat membiayai sekitar 3% dari luas areal tanaman padi pada waktu. Adapun tunggakan yang terjadi sebelum tahun 1995, yaitu sebesar Rp. 117 miliar telah dihapusbukukan dan dihapustagihkan. Penghapus bukuan ini juga diakibatkan oleh kemacetan yang terjadi setiap tahun sejak 1985-1995, meskipun persentasenya kecil.

Pada tahun 1998 dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri maka kebijakan yang diambil adalah melakukan program intensifikasi khusus. Kebijakan ini diambil dalam rangka memenuhi ketersediaan pangan yang ketika itu mengalami kekurangan akibat kekeringan atau kesulitan memperoleh pasokan import karena krisis nilai tukar. Untuk mendukung realisasi perluasan areal intensifikasi sehingga 25 % dibutuhkan ketersediaan dana sebesar Rp. 3,13 triliun. Kebutuhan dana tersebut masih perlu ditambah dengan rencana perluasan areal intensifikasi khusus untuk komoditi palawija dan hortikultura, sehingga total kebutuhan dana KUT yang perlu disediakan pada tahun penyediaan (TP) 1998/1999 mencapai sebesar Rp. 4,37 triliun.

Berdasarkan rapat kordinasi peningkatan produksi pangan tanggal 16 Oktober 1998 telah disepakati untuk peningkatan sasaran areal KUT TP 1998/1999 di Pulau Jawa dari 25 % menjadi 50 % sehingga total kebutuhan penyediaan dana KUT menjadi Rp. 6,53 triliun.

Realisasi KUT sejak TP 1995/1996 sampai dengan TP 1999/2000 secara kumulatif sebesar Rp. 10,53 triliun, dimana terjadi tunggakan sebesar Rp. 7,22 triliun atau sebesar 68, 58 % (posisi tanggal 3 oktober 2001). (lihat tabel 2)

Pada akhir tahun 1999 terjadi perubahan besar yaitu mulai berlakunya UU 23/1999 tentang Bank Indonesia, dimana Bank Indonesia tidak lagi diizinkan memberikan kredit likuiditas kepada Bank Komersial yang berakibat tidak dapat dilanjutkannya pola kredit KUT. Semula penyediaan kredit usaha tani akan diupayakan melalui surat utang pemerintah (SUP) dan khusus untuk kebutuhan tahun 2000 dialokasikan plafond sebesar 1,9 triliun rupiah yang berasal dari konsorsium bank-bank dengan jaminan pemerintah. Namun demikian kesepakatan Letter of Intent tanggal 15 Januari 2000 menyepakati bahwa pemerintah tidak akan menambah alokasi dana baru untuk KUT, sehingga praktis pola KUT dihentikan pada akhir September 2000, atau akhir tahun penyediaan 1999/2000 (dari Oktober 1999-september 2000).

Peningkatan penyediaan dana KUT sub-sektor pertanian tanaman pangan yang sejak 1998 pada saat Indonesia mengalami krisis secara komulatif mencapai RP. 9,753 triliun adalah di luar kebiasaan kapasitas serap sektor pertanian. Oleh karena itu membludaknya penyediaan kredit murah dan mudah ke pedesaan / pertanian telah menimbulkan moral hazard, sehingga kasus penyalahgunaan KUT terjadi secara meluas. Hal ini tidak terlepas dari kondisi pada saat itu dimana kredit komersial perbankan tidak tersedia, sehingga KUT menjadi satu-satunya sumber pembiayaan. Selanjutnya ketidakpastian akan kelanjutan KUT dan kegagalan panen di beberapa daerah telah menimbulkan tunggakan yang membengkak.

Sehubungan dengan adanya tunggakan KUT tersebut, maka pemerintah telah mengambil kebijakan untuk melakukan restrukturisasi KUT. Kebijakan tersebut dituangkan melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor : KEP 07.A/M.EKON/02/2001 tanggal 15 Pebruari 2001 tentang Kebijakan Restrukturisasi Kredit Petani dan Reformasi Koperasi. Kebijakan restrukturisasi KUT tersebut pada intinya memuat :

1. Penghapusan atas bunga tunggakan kredit 100%
2. Penghapusan atas pokok tunggakan kredit berdasarkan kriteria :

- Petani gagal panen sebesar 50 %;
- Petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 % sebesar 50 %;
- Petani dengan luas lahan antara 0,5-1 ha sebesar 35 %;
- Petani lainnya dengan lahan lebih dari 1 ha sebesar 25 %.

3. Masa pembayaran diberikan secara bertahap pada setiap masa panen, paling lama 1 tahun
4. Cicilan pokok selama masa pembayaran tidak dikenakan bunga
5. Kebijakan restrukturisasi kredit petani hanya dilakukan 1 kali untuk kredit yang tertunggak per 31 Desember 2000 sesuai data bank pelaksana
6. Berlaku untuk tunggakan KUT yang bersih dari indikasi adanya irregularities

Kebijakan restrukturisasi KUT tersebut hingga saat ini belum dapat terlaksana karena belum tercapainya kesepakatan para penanggung resiko yaitu Bank Indonesia dan pemerintah. Oleh karena itu muncul usulan kebijakan baru yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah KUT. Masalah ini memang harus diselesaikan dan nampaknya penyelesaiannya tidak terlepas dari keharusan kita untuk memahami kedudukan dan sebab pembengkaan KUT.

V. Arah dan Strategi Pengembangan LKM

Permasalahan yang dihadapi oleh LKM terutama LKM bukan bank pada dasarnya dapat digolongkan ke dalam hal-hal yang bersifat internal dan eksternal. Yang bersifat internal meliputi keterbatasan sumberdaya manusia, manajemen yang belum efektif sehingga kurang efisien serta keterbatasan modal. Sementara faktor yang bersifat eksternal meliputi kemampuan monitoring yang belum efektif, pengalaman yang lemah serta infrastruktur yang kurang mendukung. Kondisi inilah yang mengakibatkan jangkauan pelayanan LKM terhadap usaha mikro masih belum mampu menjangkau secara luas, sehingga pengembangan LKM yang luas akan sangat penting perannya dalam membantu investasi bagi usaha mikro dan kecil.

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkuat LKM dapat dilakukan melalui :

1. Perkuatan permodalan dan manajemen lembaga keuangan masyarakat (KSP/USP dan LKM);
2. Penggalangan dukungan dan fasilitasi pembiayaan UKMK dengan lembaga keuangan;
3. Penggalangan partisipasi berbagai pihak dalam pembiayaan UKMK (Pemda, Luar Negeri, dll);
4. Optimalisasi pendayagunaan potensi pembiayaan UKMK di daerah (Bagian Laba BUMN, Dana Bergulir, Yayasan, Bantuan Luar Negeri);
5. Peningkatan Capacity Building LKM;
6. Training bagi pengelola LKM, untuk meningkatkan kapasitas pengelola LKM;
7. Perlu adanya lembaga penjamin untuk menjamin kredit LKM dan tabungan nasabah LKM dan;
6. BDS yang mampu memberikan fasilitasi manajemen, keuangan, dll.

Pengembangan KSP dan LKM kedepan harus diarahkan untuk menjadikan KSP dan LKM sehat, kuat, merata dan mampu menyediakan kebutuhan pembiayaan usaha mikro dan kecil agar mampu menghadapi tantangan untuk melaksanakan otonomi daerah. Pengendalian dan pembinaan/fasilitasi, serta pengembangan kelembagaan (organisasi dan manajemen), meningkatkan kompetensi dan profesionalisme pengelola KSP/USP-LKM melalui diklat terus menerus sangat diperlukan. Pengembangan kemampuan layanan bagi anggota, meningkatkan jumlah produk keuangan yang didukung dengan pengembangan jejaring. Pengembangan jejaring antara lain meliputi jejaring :

- Antar KSP/LKM, mendayagunakan lembaga simpan pinjam sekunder yang berperan mengatur interlending diantara KSP/USP Koperasi dan LKM;
- Antara KSP/USP dan LKM dengan lembaga keuangan lain, meningkatkan akses untuk dana pinjaman maupun equity.

Dalam memperkuat USP/KSP ke depan paling tidak ada tiga langka yang harus dilakukan : Pertama, harus dilakukan pemisahan koperasi simpan pinjam dan tidak boleh dicampur/dilaksanakan sebagai bagian dari koperasi serba usaha, terutama bila USP sudah menjadi besar dan sangat dominan; Kedua, harus segera diorganisir kedalam kelompok-kelompok KSP sejenis untuk melaksanakan integrasi secara utuh, sehingga peminjaman dan penyaluran dana antar KSP dapat terjadi dan berjalan efektif; Ketiga, perlu dikembangkan sistem asuransi tabungan anggota, asuransi resiko kredit serta lembaga keuangan pendukung lainnya. Disamping itu mekanisme pengawasan yang baik dan efektif akan menjamin bekerjanya mekanisme mobilisasi dana dan pemanfaatannya secara efektif.

Pengalaman keberhasilan Bank Bukopin yang mengembangkan supervisi dan sistem on-line pada pola Swamitra juga telah membuktikan, bahwa integrasi KSP dengan Lembaga Keuangan Modern/berpengalaman dalam hal ini bank akan memperkuat kedudukan koperasi. Model ini harus menjadi pelengkap cara memajukan KSP ditanah air.

Berbagai dukungan perkuatan seperti perkuatan permodalan: P2KER (Proyek Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat), PUK (Pengembangan Usaha Kecil), Dana Penghematan Subsidi BBM, MAP (Modal Awal dan Padanan) akan terus diupayakan, pengendalian (monitoring, evaluasi, pengawasan, penilaian kesehatan) LKM juga akan terus dikembangkan, pengembangan pola dan lembaga penjaminan lokal serta pengembangan biro kredit, informasi kinerja UMK di masa lalu (track record)

Arah Lembaga Keuangan Mikro ke Depan

1. Mengatasi legal status agar jelas, diarahkan menjadi Bank, Koperasi atau LKM yang saat ini sedang disiapkan RUU LKM;
2. Pengawasan lebih intensif untuk melindungi pihak ketiga (penabung);
3. Pengembangan jaringan melalui penumbuhan lembaga keuangan sekunder, jaringan on line untuk peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat lokal.

Dengan demikian pelayanan yang luas serta menjangkau lapisan usaha mikro yang luas akan membawa pasar keuangan lebih bersaing, sehingga ketergantungan usaha mikro terhadap pelepas uang dapat ditekan atau ditiadakan. Pola pengembangan LKM juga harus memberikan pilihan yang luas bagi masyarakat nasabah apakah melalui pola konvensional atau pola bagi hasil (pola syariah). Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) sebagai model tertua LKM syariah saat ini telah memiliki 3.000 unit dibawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), serta model Baitul Tamwil Muhamadiyah (BTM), Koperasi Pondok Pesantren, Koperasi Syirqoh Mu’awanah dan Lembaga Pengelolah Zakat yang mengembangkan program ekonomi produktif bagi penerima zakat ini akan berkembang dan tumbuh lebih banyak LKM karena sudah ada perlindungan hukum tetapi untuk LKM binaan memerlukan perlindungan tersendiri.

VI. Penutup

Posisi LKM dalam pemberdayaan UKM, terutama usaha mikro sangat strategis karena 97% usaha kecil adalah usaha mikro yang belum terjangkau pelayanan perbankan. Perkuatan LKM selain menyangkut dengan lemahnya SDM juga tidak adanya jaringan yang memungkinkan terjadinya inter lending. Disamping itu pengembangan UKM memerlukan kehadiran lembaga pendukung agar posisi LKM, penabung dan peminjam terlindungi dari berbagai resiko. Lembaga keuangan mikro dapat didudukkan sebagai energi pemberdayaan UKM, terutama untuk pembentukan proses nilai tambah dan peningkatan taraf hidup lapisan masyarakat bawah. (www.smecda.com)