Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Deputi Gubernur Bank Indonesia, Budi Rochadi, mengatakan, keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia perlu payung hukum yang bisa mengatur peran dan pengawasannya. "LKM itu harus segera punya payung hukum, sehingga keberadaannya tidak bertabrakan dengan UU perbankan. Kita sangat peduli dengan LKM tetapi harus ada payung hukumnya," kata Budi Rochadi di sela-sela pertemuan wilayah Asia Pasifik Kredit Mikro di Nusa Dua Bali, Rabu.
Menurut Budi, keberadaan LKM di Indonesia sudah berjalan lama di masyarakat dan jumlahnya sangat banyak sehingga untuk meningkatkan peran dan pengawasannya sangat dibutuhkan sebuah undang-undang. RUU LKM sebenarnya sudah masuk di DPR sejak dua tahun lalu, namun hingga kini belum juga dibahas. Belum dibahasnya RUU ini, lanjut Budi, antara lain terkait perbedaan prinsip mengenai pengaturan dan pengawasan LKM. "Ada yang mengarahkan untuk disentralkan, semua diatur secara nasional. Tetapi menurut BI dan Depkeu, sebaiknya diatur oleh tiap-tiap daerah seperti yang sudah dilakukan Pemda Bali," katanya.
Dikatakannya, yang diatur secara nasional sebaiknya hanya aturan pokok saja dalam sebuah UU, namun untuk pelaksanaannya diserahkan ke masing-masing daerah. BI dan Depkeu, lanjutnya, juga telah bersepakat untuk mengeluarkan peraturan pemerintah mengenai status hukum yang jelas bagi LKM. Penyerahan pengaturan dan pengawasan LKM ke daerah, dilakukan karena Bank Indonesia dan Depkeu tidak akan sanggup untuk mengawasi banyaknya LKM di Indonesia yang jumlahnya mencapai 50.000 dengan penyebaran yang sangat luas. "Kita tidak sanggup, begitu juga Bapepam karena saking banyaknya," kata Budi.
Mengenai keberadaan LKM di Indonesia, Budi sepakat dengan prinsip pendiri Grameen Bank, Muhammad Yunus, bahwa LKM harus bertujuan membantu rakyat miskin dan tidak semata-mata komersial untuk mendapatkan keuntungan. Jika bertujuan membantu rakyat miskin, maka penentuan tingkat suku bunga pinjaman dalam LKM juga harus transparan. "Kita akan mendorong agar suku bunga kredit mikro transparan dan bisa dibatasi. Kita akan cari bentuk hukumnya," katanya. Dalam kesempatan itu, Budi juga menambahkan, pertemuan yang dihadiri sekitar 1.000 orang dari 40 negara dan berlangsung sejak Senin (28/7) ini tidak semuanya dibiayai BI. "Penyelenggaranya adalah Microcredit Summit Campaign dan Gema PKM. Sponsor dari dalam dan luar negeri juga banyak. BI juga ikut membiayai. Peserta yang hadir semua bayar kecuali yang mendapatkan beasiswa. Para pembicara justru tidak dibayar," katanya.(*)
Menurut Budi, keberadaan LKM di Indonesia sudah berjalan lama di masyarakat dan jumlahnya sangat banyak sehingga untuk meningkatkan peran dan pengawasannya sangat dibutuhkan sebuah undang-undang. RUU LKM sebenarnya sudah masuk di DPR sejak dua tahun lalu, namun hingga kini belum juga dibahas. Belum dibahasnya RUU ini, lanjut Budi, antara lain terkait perbedaan prinsip mengenai pengaturan dan pengawasan LKM. "Ada yang mengarahkan untuk disentralkan, semua diatur secara nasional. Tetapi menurut BI dan Depkeu, sebaiknya diatur oleh tiap-tiap daerah seperti yang sudah dilakukan Pemda Bali," katanya.
Dikatakannya, yang diatur secara nasional sebaiknya hanya aturan pokok saja dalam sebuah UU, namun untuk pelaksanaannya diserahkan ke masing-masing daerah. BI dan Depkeu, lanjutnya, juga telah bersepakat untuk mengeluarkan peraturan pemerintah mengenai status hukum yang jelas bagi LKM. Penyerahan pengaturan dan pengawasan LKM ke daerah, dilakukan karena Bank Indonesia dan Depkeu tidak akan sanggup untuk mengawasi banyaknya LKM di Indonesia yang jumlahnya mencapai 50.000 dengan penyebaran yang sangat luas. "Kita tidak sanggup, begitu juga Bapepam karena saking banyaknya," kata Budi.
Mengenai keberadaan LKM di Indonesia, Budi sepakat dengan prinsip pendiri Grameen Bank, Muhammad Yunus, bahwa LKM harus bertujuan membantu rakyat miskin dan tidak semata-mata komersial untuk mendapatkan keuntungan. Jika bertujuan membantu rakyat miskin, maka penentuan tingkat suku bunga pinjaman dalam LKM juga harus transparan. "Kita akan mendorong agar suku bunga kredit mikro transparan dan bisa dibatasi. Kita akan cari bentuk hukumnya," katanya. Dalam kesempatan itu, Budi juga menambahkan, pertemuan yang dihadiri sekitar 1.000 orang dari 40 negara dan berlangsung sejak Senin (28/7) ini tidak semuanya dibiayai BI. "Penyelenggaranya adalah Microcredit Summit Campaign dan Gema PKM. Sponsor dari dalam dan luar negeri juga banyak. BI juga ikut membiayai. Peserta yang hadir semua bayar kecuali yang mendapatkan beasiswa. Para pembicara justru tidak dibayar," katanya.(*)