RUU Lembaga Keuangan Mikro Koperasi Juga LKM

Rancangan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro (RUU LKM) sampai saat ini belum disahkan oleh DPR RI. RUU ini beberapa kali mengalami penyempurnaan, dan kabarnya sekarang tinggal menunggu digedok DPR.

Perjalanan RUU LKM memang cukup panjang. RUU yang merupakan bagian dari paket kebijakan terhadap sektor UKM ini, tahun 2003 diajukan Departemen Keuangan kepada Presiden RI melalui Menteri Sekretaris Negara, tetapi pada saat itu belum dianggap masuk dalam daftar prioritas. Pada saat itu Mensesneg menilai rancangan itu perlu dikaji kembali secara aturan perundangan.

Akhirnya RUU LKM masuk ke Senayan. Namun pembahasan RUU ini berlarut-larut. Bahkan DPR mengeluarkan draf RUU LKM dari daftar Prolegnas 2010. Keputusan DPR ini menimbulkan kekecewaan banyak pihak, misalnya Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Wadah ini menuding DPR RI sengaja mengganjal terbitnya UU LKM di Indonesia dengan sengaja membiarkan bahasan draft RUU LKM menjadi berlarut-larut.

“Masak sudah ada pembahasan UU Keantariksaan yang belum tentu ada orang (Indonesia yang bisa pergi ke antariksa). Sementara, yang ini sudah jelas ada 50,7 juta unit usaha mikro yang membutuhkan pendanaan tapi tidak dipedulikan,” keluh Wakil Ketua Kadin Bidang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Sandiaga Uno.

Terlepas tertahan di DPR, terbitnya RUU LKM menimbulkan polemik. Banyak pendapat pro dan kontra tentang RUU LKM. Di sejumlah daerah lahir forum-forum diskusi yang mengkritisi draf RUU tersebut, tak terkecuali di Jawa Timur. Gerakan koperasi dan pemerhati koperasi dari Universitas Airlangga (Surabaya), Unversitas Brawijaya (Malang) dan Universitas Negeri Jember bukan hanya mengkaji, tetapi juga memberi masukan draf RUU LKM.Dalam forum ini terbersit kegalauan karena seolah-olah dalam draf RUU LKM keberadaan koperasi tidak diakui lagi sebagai LKM, sebab koperasi, termasuk juga bank, diatur dengan peraturan perundangan sebelumnya.

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Koperasi dan UKM serta Gubernur Bank Indonesia, 7 September 2009, kelompok LKM yang berlum berbadan hukum seperti Badan Perkreditan Desa, Badan Lumbung Pitih Nagari, Unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam, BMT dan lain-lain, diarahkan menjadi BPR, koperasi atau badan usaha milik desa.Dalam perjalanannya, ada inisiatif`dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk muncul draf RUU LKM. Dalam argumentasinya, RUU LKM hanya ingin mencakup LKM yang belum berbadan hukum seperti disebutkan di atas.

Bertolak dari fakta di atas, gerakan koperasi Jawa Timur mengusulkan, ”Jika RUU LKM tetap akan dilanjutkan, maka diusulkan secara eksplisit dalam satu pasal menyebutkan bahwa koperasi dan lembaga keuangan bank yang sudah diatur dalam peraturan perundangan sebelumnya adalah juga LKM.”

Usulan yang lain, ”Apabila RUU LKM dilanjutkan maka harus mengacu pada perundangan sebelumnya, yaitu pada SKB Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Koperasi dan UKM serta Gubernur Bank Indonesia, 7 September 2009.” Bahkan gerakan koperasi dengan tegas mengusulkan agar ”RUU LKM tidak perlu dilanjutkan, sedangkan LKM yang ada cukup mengacu kepada SKB tiga menteri yang juga telah mengatur pengembangan LKM di mana KSP/USP termasuk di dalamnya.

Apabila RUU LKM tetap dilanjutkan, maka banyak pembenahan yang harus dilakukan, antara lain: Lembaga yang dimaksud (dalam RUU) LKM-nya menyerupai lembaga perbankan tetapi isi perbankannya lemah; Bentuk badan usahanya harus terinci satu-satu karena bentuk badan usaha di Indonesia cukup banyak dengan tingkat perbedaannya kecil; Ketentuan ijin usaha harus jelas karena dalam pasal 8,9,10 dan 11 memudahkan LKM membuka dan menutup usaha sehingga menyulitkan dalam hal pengawasan; Pengawasan terhadap LKM memerlukan aturan tersendiri karena ada LKM yang tradisional dan LKM modern perlu adanya sosialisasi. Masyarakat yang mendirikan LKM merupakan masyarakat dengan skala usaha kecil dan pola manajemen terbatas dan sistem organisasi masih tradisional.

Lalu pada pasal 8 RUU LKM disebutkan bahwa LKM dilarang menjalankan usahanya sebelum memperoleh ijin usaha dari instansi yang berwenang. Pasal ini perlu mendapatkan kajian ulang, karena dalam tradisi pendirian koperasi akan lebih baik bila dimulai dari pra koperasi sebelum berbadan hukum koperasi. Secara riil kegiatan mereka sudah teruji dan perlu dikembangkan lebih lanjut menjadi koperasi. (www.diskopjatim.go.id)