Regulasi Perkoperasian Selayaknya Disempurnakan

Sebagian pengamat menganggap UU No 17/2012 tentang Koperasi menjadi batu sandungan bagi pertumbuhan koperasi sehingga perlu disempurnakan sebab pasal-pasalnya justru banyak yang menutup ruang gerak koperasi untuk berkembang. Bahkan, beberapa daerah seperti Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah telah melayangkan surat gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencabutnya.

Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Revrisond UU No 17/2012 hanya meneruskan hal-hal yang ada dalam UU No 12/1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian. UU baru tersebut tetap mengakui koperasi golongan fungsional seperti koperasi tentara dan koperasi pegawai negeri.

Selain itu, lanjut Revrison Baswir, UU baru telah mengubah koperasi produksi menjadi koperasi produsen yang notabene justru mengarahkan sebagai konsumen. Pasalnya, koperasi produsen tersebut malah bersifat sebagai koperasi konsumen yang melayani jasa, barang-barang sebagainya, bukan sebagai penyedia.

"Artinya, secara substansi, UU No 17/2012 ini masih meneruskan UU No 12/1967, jadi malah semakin melemahkan koperasi karena koperasi makin memecah belah koperasi," tukas Revrison di Jakarta, kemarin.

Bahkan menurut Revrisond, UU Perkoperasian yang terbaru lebih buruk dari sebelumnya. "Dalam UU Koperasi yang baru, koperasi produksi dihilangkan. Yang ada koperasi simpan pinjam, koperasi rentenir," tegas dia.

Padahal, lanjut Revrisond, di Amerika Serikat yang liberal saja ada koperasi produksi yang diberi nama Worker Cooperative, yakni koperasi yang menghimpun para pekerja. Sedangkan dalam UU Koperasi, mereka yang bekerja dalam satu perusahaan bisa membangun koperasi untuk membeli barang-barang yang disediakan perusahaan.

"Padahal, koperasi produksi itu roh koperasi seperti juga dikatakan Bapak Koperasi Mohammad Hatta," kritik dia. Pengamat perkoperasian, Teguh Boediyana, berpendapat UU baru menyimpan segudang tantangan berat yang mengadang. Isu dan kekhawatiran atas terbentuknya kluster terselubung dalam koperasi model baru ala UU No 17/2012 semakin menyeruak sebagai satu dari sekian banyak tantangan berat itu.

Kluster terselubung pemilik mayoritas Sertifikat Modal Koperasi (SMK) dikhawatirkan akan terbentuk dan menjadi sekelompok golongan yang akan menentukan nasib koperasi kendati ditekankan kepemilikan atas SMK tidak memengaruhi suara sebab one man one vote tetap berlaku. Keberadaan SMK sebagai amanat dalam UU Nomor 17 Tahun 2012 menjadi pengakuan semu atas kepemilikan modal besar di koperasi.

"Ini harus diwaspadai sebab semakin besar seorang anggota memiliki SMK di suatu koperasi, ia akan memiliki kekuasaan yang semakin besar meskipun SMK tidak memiliki hak suara," kata dia. (Koran Jakarta, 18 Maret 2013)