Yayasan Keluarga Adil Makmur (KAM) telah dibekukan dua pekan silam, sementara pemimpinnya Ongkowidjaja mendekam dalam tahanan. Nasib lembaga simpan pinjam ini masih "diperjuangkan" ke DPR oleh ribuan anggotanya, tadi uang mereka yang telanjur disetorkan, tampaknya, akan menguap begitu saja.
Pengalaman tak sedap seperti ini bisa dipastikan tidak akan menimpa lebih dari 150.000 anggota CUCO, alias credit union. Berbeda dengan KAM yang terpusat di sekitar Ongko, credit unton inl adalah organisasi internasional. Pusatnya di Amerika, dengan kantor perwakilan regional Asia di Singapura. Koordinatornya untuk Indonesia, Credit Union Coordination (CUCO), berkantor di Jalan Gunung Sahari III No 7 Jakarta. Diperkenalkan di sini tahun 1970, CUCO dipimpin oleh Robby Tulus, seorang sarjana statistik lulusan Universitas Atmajaya Jakarta. Kini lembaga itu mempunyai 1.313 cabang yang tersebar di 17 provisi dengan 152.842 anggota dan kekayaan Rp 11.361 Juta.
Dalam mengelola kredit, CUCO hanya bertindak sebagai pembimbing bagi cabang-cabangnya. Selain itu, CUCO berfungsi menanggung kerugian, seandainya ada anggota meninggal atau cacat. Kendati mempunyai jalur internasional, CUCO mengembangkan dananya dari para anggotanya sendiri, yang terdiri atas rakyat sederhana sampai kalangan dokter. Syarat untuk menjadi anggota CUCO ringan-ringan berat, yakni harus dikenal dalam lingkungan itu. Setiap anggota dikenai uang pendaftaran, simpanan pokok bulanan, simpanan sukarela-besarnya berbeda-beda di setiap credit union.
Setiap anggota boleh meminjam 10% dari jumlah dana yang tersimpan di cabang credit union yang bersangkutan. Jadi, kalau satu cabang credit union memiliki simpanan Rp 2 juta, anggota boleh meminjam Rp 200.000. Tetapi kas credit union juga harus selalu bersisa, minimal 10% dari jumlah simpanan.
Menurut general manager CUCO, Hubertus Woeryanto, credit union ini sebenarnya adalah koperasi simpan pinjam. Istilah credit union dipakai, karena sewaktu program ini diluncurkan, masyarakat sangat alergi pada koperasi. Baru di tahun 1983 namanya diubah menjadi koperasi kredit (kopdit), dan CUCO berganti nama menjadi Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I). Kendati demikian, sejauh ini baru 56 cabang dari 1.313 kopdit itu mendapatkan status badan hukum koperasi. "Kami kesulitan mendapatkan status badan hukum usaha," jawab Hubertus. Tak dijelaskannya bagaimana bentuk kesulitan itu. Namun, Dirjen Bina Koperasi Soelarso, Desember lalu, berpesan lewat surat kepada para Kepala Kanwil dan Kepala Kantor Departemen Koperasi di seluruh Indonesia, agar melindungi kopdit-kopdit yang bernaung di bawah BK3I.
Berbeda dengan KUD, kopdit ini membatasi kegiatannya hanya di bidang keuangan, tidak meluas ke bidang lain. Alasan Woeryanto, "Uang adalah alat paling luwes untuk kebutuhan manusia, dan dapat dikembangkan ke usaha lain. Lagi pula, usaha lain memerlukan manajemen baru pula." Ia mensinyalir adanya anggapan baha credit union memusuhi KUD dan rentenir. "Nyatanya, kami sering bekerja sama dengan KUD. Jika petani membutuhkan pupuk, KUD yang menyediakan pupuknya, kami memberikan kreditnya," kata Woeryanto lebih lanjut.
Tapi, memang, credit union bisa mengurangi rezeki rentenir. Menurut pengamatan BK3I, di mana ada credit union, di situ rentenir berkurang. "Paling tidak mereka ikut menurunkan suku bunga pinjaman. Sebab, credit union meminta bunga per bulan 1%-3% dari sisa pinjaman," kata Woeryanto. Salah satu credit union yang terbesar adalah Koperasi Kredit Usaha Bersama (KKUB). KKUB ini telah berjalan sejak 1973 di RS St. Carolus, Jakarta. "Jumlah anggota sekarang ini 1.686 orang, 80% di antaranya adalah karyawan RS Carolus," kata dr. Mas Soedarmono, Ketua Umum KKUB, kepada Tempo akhir bulan lalu. Kecil tetapi lama-lama jadi bukit, begitulah KKUB ini. Anggota hanya diwajibkan membayar uang pendaftaran RP 250,00, simpanan pokok RP 2.000,00, dan simpanan wajib RP 500,00. Tetapi, "Selama 15 tahun, kami sudah meminjamkan RP 3,25 milyar kepada anggota," tutur dr. Mas. Menurut dr. Mas, sekitar 50% peminjam mengambil kredit RP 2,5 juta untuk membayar uang muka kredit perumahan. Pinjaman tersebut harus dicicil maksimal 4 tahun, berbunga 1% dari sisa pinjaman. "Akhir Desember 1987, kami mempunyai sisa hasil usaha (laba) RP 47 juta," katanya bangga.
Besarnya minat pada credit union, ditambah lagi keberanian orang berspekulasi dengan KAM, jelas menunjukkan betapa masyarakat sangat mendambakan kredit bersyarat ringan. Soalnya, persyaratan mengurus kredit dari lembaga keuangan resmi seperti bank memang tidak mudah. Contohnya, kredit usaha pedesaan (kupedes), yang gencar dipromosikan BRI, malah sampai mengetuk rumah penduduk seperti yang terjadi di Kampung Amplas, tak jauh dari Medan, Sum-Ut. Maka, Hendro, pensiunan perkebunan swasta, tertarik mengambil kupedes. Tapi prosedurnya sangat menguras waktu dan tenaga. Formulir dari BRI harus diteken istri juga. Setelah itu, ia harus mendapatkan tanda tangan dan cap kepala desa, di samping harus membuat surat izin usaha, yang lengkap dengan tanda tangan dan cap dari beberapa instansi. Ia pun harus melampirkan foto kegiatan perusahaan, foto tanah dan bangunan yang dijadikan jaminan. Baru kalau semua persyaratan itu beres, ia boleh membuat akad kredit yang harus diteken camat.
Tidak heran kalau dalam diskusi ISEI pekan lalu, disebut-sebut bahwa petani harus mendapat 34 izin, baru kredit cair. Tapi sesudah cair pun, bukan berarti bisa lega. Kredit Hendro, yang Rp 2 juta, dipotong Rp 120.000. Rupanya, setiap pinjaman Rp 500.000,00 dan kelipatannya dikenai down payment - uang hangus menurut istilah para rentenir - sebesar Rp 30.000,00 (6%). Belum lagi bunganya yang lumayan tinggi, 2% sebulan atau 24% setahun. Tak heran jika kredit BRI bukannya dimanfaatkan untuk membuka usaha, tapi dibelokkan untuk praktek rentenir. Kabarnya, inilah satu-satunya cara menguntungkan, agar bisa menutup cicilan pada BRI. (Tempo Online, 5 Maret 1998)
Pengalaman tak sedap seperti ini bisa dipastikan tidak akan menimpa lebih dari 150.000 anggota CUCO, alias credit union. Berbeda dengan KAM yang terpusat di sekitar Ongko, credit unton inl adalah organisasi internasional. Pusatnya di Amerika, dengan kantor perwakilan regional Asia di Singapura. Koordinatornya untuk Indonesia, Credit Union Coordination (CUCO), berkantor di Jalan Gunung Sahari III No 7 Jakarta. Diperkenalkan di sini tahun 1970, CUCO dipimpin oleh Robby Tulus, seorang sarjana statistik lulusan Universitas Atmajaya Jakarta. Kini lembaga itu mempunyai 1.313 cabang yang tersebar di 17 provisi dengan 152.842 anggota dan kekayaan Rp 11.361 Juta.
Dalam mengelola kredit, CUCO hanya bertindak sebagai pembimbing bagi cabang-cabangnya. Selain itu, CUCO berfungsi menanggung kerugian, seandainya ada anggota meninggal atau cacat. Kendati mempunyai jalur internasional, CUCO mengembangkan dananya dari para anggotanya sendiri, yang terdiri atas rakyat sederhana sampai kalangan dokter. Syarat untuk menjadi anggota CUCO ringan-ringan berat, yakni harus dikenal dalam lingkungan itu. Setiap anggota dikenai uang pendaftaran, simpanan pokok bulanan, simpanan sukarela-besarnya berbeda-beda di setiap credit union.
Setiap anggota boleh meminjam 10% dari jumlah dana yang tersimpan di cabang credit union yang bersangkutan. Jadi, kalau satu cabang credit union memiliki simpanan Rp 2 juta, anggota boleh meminjam Rp 200.000. Tetapi kas credit union juga harus selalu bersisa, minimal 10% dari jumlah simpanan.
Menurut general manager CUCO, Hubertus Woeryanto, credit union ini sebenarnya adalah koperasi simpan pinjam. Istilah credit union dipakai, karena sewaktu program ini diluncurkan, masyarakat sangat alergi pada koperasi. Baru di tahun 1983 namanya diubah menjadi koperasi kredit (kopdit), dan CUCO berganti nama menjadi Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I). Kendati demikian, sejauh ini baru 56 cabang dari 1.313 kopdit itu mendapatkan status badan hukum koperasi. "Kami kesulitan mendapatkan status badan hukum usaha," jawab Hubertus. Tak dijelaskannya bagaimana bentuk kesulitan itu. Namun, Dirjen Bina Koperasi Soelarso, Desember lalu, berpesan lewat surat kepada para Kepala Kanwil dan Kepala Kantor Departemen Koperasi di seluruh Indonesia, agar melindungi kopdit-kopdit yang bernaung di bawah BK3I.
Berbeda dengan KUD, kopdit ini membatasi kegiatannya hanya di bidang keuangan, tidak meluas ke bidang lain. Alasan Woeryanto, "Uang adalah alat paling luwes untuk kebutuhan manusia, dan dapat dikembangkan ke usaha lain. Lagi pula, usaha lain memerlukan manajemen baru pula." Ia mensinyalir adanya anggapan baha credit union memusuhi KUD dan rentenir. "Nyatanya, kami sering bekerja sama dengan KUD. Jika petani membutuhkan pupuk, KUD yang menyediakan pupuknya, kami memberikan kreditnya," kata Woeryanto lebih lanjut.
Tapi, memang, credit union bisa mengurangi rezeki rentenir. Menurut pengamatan BK3I, di mana ada credit union, di situ rentenir berkurang. "Paling tidak mereka ikut menurunkan suku bunga pinjaman. Sebab, credit union meminta bunga per bulan 1%-3% dari sisa pinjaman," kata Woeryanto. Salah satu credit union yang terbesar adalah Koperasi Kredit Usaha Bersama (KKUB). KKUB ini telah berjalan sejak 1973 di RS St. Carolus, Jakarta. "Jumlah anggota sekarang ini 1.686 orang, 80% di antaranya adalah karyawan RS Carolus," kata dr. Mas Soedarmono, Ketua Umum KKUB, kepada Tempo akhir bulan lalu. Kecil tetapi lama-lama jadi bukit, begitulah KKUB ini. Anggota hanya diwajibkan membayar uang pendaftaran RP 250,00, simpanan pokok RP 2.000,00, dan simpanan wajib RP 500,00. Tetapi, "Selama 15 tahun, kami sudah meminjamkan RP 3,25 milyar kepada anggota," tutur dr. Mas. Menurut dr. Mas, sekitar 50% peminjam mengambil kredit RP 2,5 juta untuk membayar uang muka kredit perumahan. Pinjaman tersebut harus dicicil maksimal 4 tahun, berbunga 1% dari sisa pinjaman. "Akhir Desember 1987, kami mempunyai sisa hasil usaha (laba) RP 47 juta," katanya bangga.
Besarnya minat pada credit union, ditambah lagi keberanian orang berspekulasi dengan KAM, jelas menunjukkan betapa masyarakat sangat mendambakan kredit bersyarat ringan. Soalnya, persyaratan mengurus kredit dari lembaga keuangan resmi seperti bank memang tidak mudah. Contohnya, kredit usaha pedesaan (kupedes), yang gencar dipromosikan BRI, malah sampai mengetuk rumah penduduk seperti yang terjadi di Kampung Amplas, tak jauh dari Medan, Sum-Ut. Maka, Hendro, pensiunan perkebunan swasta, tertarik mengambil kupedes. Tapi prosedurnya sangat menguras waktu dan tenaga. Formulir dari BRI harus diteken istri juga. Setelah itu, ia harus mendapatkan tanda tangan dan cap kepala desa, di samping harus membuat surat izin usaha, yang lengkap dengan tanda tangan dan cap dari beberapa instansi. Ia pun harus melampirkan foto kegiatan perusahaan, foto tanah dan bangunan yang dijadikan jaminan. Baru kalau semua persyaratan itu beres, ia boleh membuat akad kredit yang harus diteken camat.
Tidak heran kalau dalam diskusi ISEI pekan lalu, disebut-sebut bahwa petani harus mendapat 34 izin, baru kredit cair. Tapi sesudah cair pun, bukan berarti bisa lega. Kredit Hendro, yang Rp 2 juta, dipotong Rp 120.000. Rupanya, setiap pinjaman Rp 500.000,00 dan kelipatannya dikenai down payment - uang hangus menurut istilah para rentenir - sebesar Rp 30.000,00 (6%). Belum lagi bunganya yang lumayan tinggi, 2% sebulan atau 24% setahun. Tak heran jika kredit BRI bukannya dimanfaatkan untuk membuka usaha, tapi dibelokkan untuk praktek rentenir. Kabarnya, inilah satu-satunya cara menguntungkan, agar bisa menutup cicilan pada BRI. (Tempo Online, 5 Maret 1998)