Memberdayakan Umat Dengan Lembaga Keuangan Mikro

Komisi Pemberdayaan Sosial Ekonomi (PSE) Se- Keuskupan Regio Jawa, tanggal 17-21 Juli 2006 lalu mengadakan workshop. Kegiatan yang diadakan di Hening Griya, Baturaden, Purwokerto, Jawa Tengah tersebut dihadiri oleh perwakilan Keuskupan yang ada di Regio Jawa. Para peserta utamanya ialah aktivis karya sosial, penggiat Credit Union (CU) serta pelaku Koperasi Simpan Pinjam, didampingi para imam moderator PSE masing-masing.

Rm. Stefanus Bijanta, CM, selaku Sekjen Komisi PSE KWI mengatakan, pengembangan gerakan simpan pinjam, credit union memang sangat tepat untuk dikembangkan. Karena gerakan ini berbasis ekonomi kerakyatan dan berupa keuangan mikro. Ketahanan keuangan mikro masyarakat terbukti mampu diandalkan dalam menghadapi krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Imam yang lama berkarya di Keuskupan Banjarmasin dan Keuskupan Sorong, Papua ini mengisahkan pengalamannya. Di kedua tempat itu, ia sempat pesimis ketika merintis berdirinya credit union. Hal ini karena banyak kendala antara lain mentalitas konsumtif masyarakat, tidak suka menabung dan isu agama maupun perbedaan suku. Namun, karena terbukti credit union membuat kehidupan masyarakat kecil lebih sejahtera, maka masyarakat sendiri yang akhirnya tertarik untuk bergabung. "Saat ini aset yang dimiliki credit union di Keuskupan Banjarmasin mencapai ratusan juta rupiah", kata imam yang akrab disapa Romo Bianto itu.

Sementara itu, Bapak Tjandra, fasilitator yang juga termasuk dalam anggota Komisi PSE KWI meyakinkan peserta bahwa ekonomi kerakyatan semacam credit union sangat tepat menjadi pilihan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Asal para penggiat credit union konsisten mematuhi prinsip-prinsip keuangan mikro yang sangat selaras dengan Ajaran Sosial Gereja. Karena credit union ini didasarkan pada prinsip swadaya, solidaritas dan pembinaan anggota terus-menerus. Bapak Tjandra yang sempat mendampingi masyarakat pasca gempa di Nias, Sumatera Selatan menceritakan, "Memang sesudah terjadi gempa, ekonomi masyarakat Nias terpuruk. Namun justru mereka sadar untuk bergabung dalam simpan pinjam". Keadaan ini membuat asset dari credit union di sana meningkat drastis, karena mentalitas masyarakat yang tergerak untuk menabung demi menata kembali ekonominya yang terpuruk.

Sejak hari pertama hingga hari kamis, peserta diajak untuk melakukan analisa SWOT mencari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari kegiatan ekonomi mikro. Pak Tjandra memimpin acara demi acara mengajak peserta mengenali kegiatan para aktivis PSE yang hadir. Pertanyaan yang diajukan meliputi refleksi tentang kegiatan ekonomi mikro, berkaitan dengan keunggulan dan tantangan yang dihadapi di masing-masing credit union. Setiap kali mereka diajak untuk berdiskusi kelompok dan memaparkan hasil diskusi mereka. Kesempatan tersebut menjadi saat bagi para peserta untuk saling menambah dan mengkritisi kegiatan ekonomi kerakyatan mereka selama ini.

Saat diskusi kelompok juga menjadi kesempatan para peserta untuk memberi usulan dan masukan kepada Komisi PSE KWI. Beberapa hal yang diusulkan ialah supaya Komisi PSE KWI memberi bekal mereka untuk mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan mereka dalam menjalankan kegiatan credit union. Selain itu para peserta juga mengusulkan agar Komisi PSE KWI maupun Komisi PSE masing-masing Keuskupan tetap berperan memberikan animasi dan motivasi kepada masing-masing kegiatan ekonomi kerakyatan.

Pak Tjandra juga memaparkan bahwa saat ini pelaku keuangan mikro di Indonesia masih sedikit. Meskipun sudah ada bank swasta nasional yang mulai melirik masyarakat bawah. Di sinilah penggiat credit union dapat berperan untuk menampung dan menyalurkan modal, menciptakan lapangan kerja sekaligus meningkatkan pendapatan, mempercepat pembangunan di tingkat desa dan penggerak bisnis atau menyelamatkan usaha yang sedang dilanda krisis. Jadi, tujuan dasar pengembangan ekonomi pertama-tama bukanlah pertumbuhan ekonomi namun perbaikan kesejahteraan manusia atau sering disebut sebagai pembangunan sosial. "Ini jelas sangat selaras dengan Ajaran Sosial Gereja", tutur alumnus SMU Kanisius, Menteng, Jakarta.

Mgr. Julianus Sunarko, SJ mengingatkan kegiatan ekonomi kerakyatan sangat mendesak untuk digulirkan. Namun tetap harus mengutamakan prinsip kemanusiaan ialah: prinsip keselamatan manusia sebagai tujuan akhir, prinsip kesetiakawanan yang berciri pilihan untuk kaum marginal, serta globalisasi solidaritas. Uskup Purwokerto itu menunjukkan bahwa saat ini makin banyak orang yang tak memiliki perlindungan akan hak-hak hidup mereka , Gereja patut terlibat dalam kegiatan pemberdayaan. Globalisasi yang terjadi ternyata hanya menyejahterakan kelompok kecil masyarakat saja, bahkan memperlemah kedaulatan suatu bangsa. Maka, globalisasi solidaritas dari kaum kecil dan masyarakat miskin perlu didukung. Jika tidak, masyarakat kecil hanya akan "dikangkangi" pemodal besar. Beliau juga mengatakan, karya sosial yang nyata akan sungguh meringankan beban masyarakat yang saat ini sangat lemah kehidupannya.

Di akhir lokakarya, para peserta telah menemukan kekuatan, kelemahan, peluang, maupun anaman dari gerakan pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang akan mereka laksanakan. Beberapa kekuatan yang hendak mereka terus tingkatkan ialah: cita-cita bersama memberdayakan ekonomi kerakyatan, jaringan tingkat internasional, nasional dan keuskupan, tenaga-tenaga yang berkualitas serta dukungan fasilitas dan dana dari Gereja. Beberapa hal inilah yang akan menjadi kekuatan menjalankan gerak bersama memberdayakan ekonomi kerakyatan. (A. Luluk Widyawan, Pr, Ketua Komisi PSE Keuskupan Surabaya)