Memasyarakatkan Lembaga Keuangan Mikro

Kemiskinan dan pengangguran masih banyak dijumpai di wilayah negara Indonesia. Harian Kompas 15/04/2006, melaporkan data tentang kemiskinan berupa pengangguran terbuka dan penduduk miskin sebagai berikut:

Tahun 2001
Pengangguran terbuka: 5,8 juta orang
Penduduk miskin: 38,7 juta orang

Tahun 2002
Pengangguran terbuka: 8 juta orang
Penduduk miskin: 37,9 juta orang

Tahun 2003
Pengangguran terbuka: 9,1 juta orang
Penduduk miskin: 38,4 juta orang

Tahun 2004
Pengangguran terbuka: 10,3 juta orang
Penduduk miskin: 37,3 juta orang

Fakta tentang kemiskinan dan pengangguran menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan yang besar akan jasa keuangan (simpan-pinjam) di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah/rumah tangga. Karena itu, ada kebutuhan untuk mempromosikan dan menggiatkan suatu program yaitu sistem simpan pinjam bagi masyarakat Indonesia, khususnya bekerja sama dengan lembaga dan organisasi yang benar-benar bertujuan untuk mencapai kinerja yang tinggi. Bukan hanya itu, kehadiranlembaga yang mampu menyajikan pelayanan yang berkualitas bagi rumah tangga dan masyarakat berpenghasilan rendah sangat dinantikan.

Dalam peta tentang keuangan yang beredar di pedesaan di Indonesia, diketahui bahwa sumber keuangan rumah tangga berasal dari lima asal. Ialah: arisan yang memberikan berupa kredit jangka pendek yang bersifat produktif dan konsumtif, kantor cabang bank pemerintah yang mengucurkan kredit jangka panjang dan pendek namun bersifat produktif, lembaga keungan mikro yang memberikan kredit jangka panjang dan pendek yang bersifat produktif, rentenir, pedagang, teman atau kerabat yang memberikan kredit jangka pendek baik produktif atau konsumtif serta dari tabungan pribadi.

Di antara sumber keuangan rumah tangga masyarakat, yang diminati untuk dijadikan sumber keuangan ialah Lembaga Perbankan, baik BPR maupun BRI Unit dengan jumlah peminjam sebanyak 5.428.637. Sementara peminjam yang meminjam dari Lembaga Non Perbankan, baik dari Koperasi Simpan Pinjam, Unit Simpan Pinjam, Pegadaian, Credit Union, Lembaga Keungan Masyarakat, Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan jsutru jauh lebih besar, yakni sebanyak 10.394.713 peminjam. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia lebih tertarik mendapatkan pinjaman dari Lembaga keungan non formal.

Lembaga keungan non formal, pada dasarnya memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga keuangan formal layaknya Perbankan. Jika peminjam mendatangi lembaga keuangan non formal, jelas modal sukar diperoleh dan organisasinya sifatnya layaknya sebuah keluarga. Selain itu, permodalannya bukan dari lembaga keuangan resmi, bantuan negara tidak ada, hubungan dengan masyarakat sifatnya saling menguntungkan dan berdasar sifat saling percaya. Lain halnya jika peminjam mendatangi lembaga keuangan formal, yang jelas modalnya mudah diperoleh, organisasinya birokratis, permodalannya dari lembaga keuangan resmi, didukung oleh negara untuk kelangsungan usaha, serta hubungan dengan masyarakatnya satu arah untuk kepentingan sektor formal. Namun fakta berbicara bahwa masyarakat lebih banyak yang berminat mendapatkan sumber keuangan dari Lembaga keuangan non formal.

Lembaga Keuangan Mikro Lembaga keuangan mikro ada untuk menolong masyarakat miskin / usaha kecil sehingga mereka mampu menolong dirinya sendiri. Dalam kerangka itu, keuangan mikro dimaksudkan memberikan dukungan yang akan memberdayakan berbagai kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin / pengusaha kecil. Jadi keuangan mikro adalah penyediaan jasa-jasa keuangan kepada anggota masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Umumnya mereka adalah orang yang tidak memiliki tanah sebagai aset, petani marginal atau penduduk kota yang bekerja di sektor informal. Jasa-jasa keuangan mikro dapat mencakup kegiatan simpan pinjam dan jasa-jasa lain seperti asuransi, pengiriman uang dan hak tanggungan atas tanah, pelayanan kesehatan dan masalah gender.

Cakupan keuangan mikro jelas terdapat dipedesaan dan kota besar di lapisan masyarakat pekerja sektor informal. Dari segi jumlah, orangnya lebih sedikit. Mereka umumnya adalah penduduk desa dengan beragam kegiatan mulai dari perdagangan, pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan dan industri rumah tangga.
Dengan demikian, fungsi keuangan mikro pertama sebagai sarana memerangi kemiskinan (poverty elevation). Kedua, membangun manusia. Pembangunan yang tidak menyertai unsur manusia atau pembangunan sosial masyarakat akan senantiasa berakhir dengan dampak-dampak sosial yang harganya mungkin lebih mahal daripada pembangunan itu sendiri.

Sesuai dengan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat, kredit mikro memiliki esensi yang sangat berbeda dengan kredit komersil, yaitu bahwa kredit mikro harus merupakan bagian dari suatu proses pemupukan dana jangka panjang yang disebut modal, bagi si peminjam. Prinsip ini mutlak menjadi landasan kebijakan pinjaman yang harus dikembangkan oleh setiap lembaga pembiayaan mikro. Sedangkan kemampuan pemupukan dana jangka panjang (capital formation) terganting pada kemampuan seseorang dalam mengelola dana pinjaman untuk usaha-usaha produktif, sehingga hasilnya bukan saja mampu mengembalikan pokok pinjaman dan bunga serta biaya-biaya lain, tapi si peminjam memiliki surplus yang akan menambah modal atau dana yang telah ia miliki.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa usaha kecil dan mikro menghadapi sejumlah persoalan (internal dan eksternal), di mana keterbatasan modal menjadi salah satu persoalan. Di sisi lain, penelitian ini juga menggambarkan bahwa tidak seluruh kebutuhan permodalan usaha kecil dan mikro dapat disediakan oleh perbankan. Karena perbankan hanya dapat menyediakan sekitar 17-18 % dari kebutuhan usaha kecil dan mikro. Dengan kata lain, hampir sebagian besar kebutuhan modal usaha kecil dan mikro diperoleh dari sumber non perbankan, dari teman, keluarga, dan lembaga keuangan non bank. Hal tersebut disebabkan karena rendahnya aksesibilitas usaha kecil dan mikro kepada kredit perbankan, bukan karena tingginya suku bunga, tetapi lebih dominan disebabkan karena sistem dan prosedur perbankan serta pengertian penyediaan dana, yang sering menjadi pusat perdebatan.

Pelaku usaha kecil dan mikro sebenarnya sudah memiliki jaminan hukum. Menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, dijelaskan bahwa usaha kecil merupakan kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan memenuhi criteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur, yaitu:

- memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000

- memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000

- milik warga negara Indonesia- berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tak langsung dengan usaha menengah atau besar

Oleh karena itu, lembaga keuangan mikro dengan sendirinya menuntut pelakunya menjalankan manajemen secara professional, melakukan pendekatan dengan pengelolaan stakeholder, dikelola dengan prinsip usaha modern, dan tak ketinggalan mengacu pada prioritas pembangunan di daerah masing-masing, baik dari sisi wilayah, sektor maupun manusianya. Dengan prinsip utama, dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri.Memasyarakatkan Lembaga Keuangan Mikro.

Salah satu pemberdayaan masyarakat dalam konteks kekuatan ekonomi nasional adalah dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan. Salah satu instrumen strategis untuk memberdayakan usaha kecil adalah melalui keuangan mikro.

Akan tetapi, keuangan mikro memiliki beberapa kelemahan ialah mata rantai usaha tergantung dengan karakteristik pengusaha kecil, Beberapa kelemahan dan kegagalan yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

- kurang mampu menjalankan usaha- lemah dalam pengelolaan- cara hidup yang konsumtif- cepat merasa puas dengan hasil yang diacapai

- sangat tergantung kepada fasilitas
- rendahnya profesionalisme

- kesadaran akan kualitas produksi masih rendah
- bersifat trial dan error

- masih percaya pada hal-hal yang bersifat tahyul

Dengan kondisi demikian, pada umumnya usaha kecil dan mikro membutuhkan dukungan banyak pihak. Dukungan tersebut sangat diharapkan berasal dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, lembaga keuangan, lembaga akademi maupun lembaga donor.

Dalam pengembangan keuangan mikro, diperlukan strategi-stategi dasar agar dapat berjalan sesuai dengan misinya. Beberapa statergi dasar yang mendesak untuk dilakukan, terutama oleh pemerinta ialah:

- memanfaatkan dan memantapkan lembaga keuangan mikro yang sudah ada, menumbuhkan lembaga keuangan mikro baru serta meingkatkan kemandirian dan profesionalisme lembaga keuangan mikro

- meningkatkan kesadara masyarakat tentang keuangan mikro ke seluruh segmentasi sasaran- mengembangkan jaringan antar lembaga keuangan mikro dengan pihak terkait

-mengupayakan kemudahan bagi masyarakat miskin dalam mengakses modal dan pendampingan usaha ekonomi produktif.

Berhadapan dengan situasi ekonomi terpuruk karena banyaknya pengangguran dan penduduk miskin, lembaga keuangan mikro memiliki peran penting sebagai katalisator perbaikan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan lembaga keuangan mikro niscaya memberdayakan masyarakat. Karena lewat lembaga keuangan mikro, terwujudlah tujuan pengembangan ekonomi yaitu perbaikan dan kesejahteraan manusia yang sering disebut sebagai pembangunan manusia atau pembangunan sosial, selain pertumbuhan ekonomi pada prioritas berikutnya (Ms. Nancy Birdsall, World Bank, 1993). Lembaga keuangan mikro dapat menjadi tempat penampung dan penyalur dana dan modal, membawa efek penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapat, pemercepat pembangunan tingkat desa, penggerak bisnis dan menyelamatkan usaha / kegiatan yang dilanda krisis (A. Luluk Widyawan, Pr, Ketua PSE Keuskupan Surabaya)