Peran UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) pada perekonomian Indonesia begitu strategis. Pada tahun 2006, jumlah UMKM adalah 48,9 juta unit usaha atau merupakan 99,99% dari total unit usaha yang ada di Indonesia. Kontribusi UMKM pada penyerapan tenaga kerja mencapai 85 juta atau 96,18%, dan kontribusi terhadap GDP mencapai 53,28%. Dari seluruh UMKM tersebut, sampai saat ini yang telah mendapatkan kredit dari perbankan sekitar 39,06% atau 19,1 juta, sedangkan sisanya dianggap belum bankable.
Sesuai data, dengan jumlah unit kerja yang relatif sedikit di antara LKM (Lembaga Keuangan Mikro) yang ada di Indonesia, sampai saat ini peran BRI Unit masih sangat dominan karena berhasil mengumpulkan simpanan sebesar 68,82% dan menyalurkan kredit sebesar 43,93%. Posisi terbesar kedua adalah BPR. Dari kondisi ini tampak bahwa peran LKM di luar BRI Unit dan BPR masih sangat rendah. Akibatnya, potensi UMKM yang begitu besar belum dapat direalisasikan sebagai andalan pertumbuhan ekonomi. Hal ini menjadi ironi, karena LKM yang bagus (BRI Unit dan BPR) tidak dapat menjangkau sebagian besar UMKM, namun LKM yang mampu menjangkau sebagian besar UMKM justru menghadapi keterbatasan modal. Untuk mengakselerasikan pembiayaan UMKM perlu memberdayakan LKM di luar BRI Unit dan BPR.
Upaya Pemberdayaan UMKM
Upaya pemberdayaan UMKM telah ditempuh oleh pemerintah melalui berbagi program seperti P4K, KUBE, PEMP, UPPKS, P2KP, PPK dan sebagianya, namun program ini tidak optimal karena tidak sustainable dan berhenti di tengah jalan. Bahkan bulan November lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR), yaitu kredit tanpa agunan dengan plafon sampai dengan Rp 500 juta khusus untuk UMKM yang belum bankable. Meskipun upaya ini sangat bagus, namun masih ada keterbatasan yaitu jumlah maksimum kredit yang dapat dijamin hanya sekitar Rp 14 triliun dan hanya dilayani oleh perbankan.
Dengan demikian, keberadaan sebagian besar UMKM yang tersebar di seluruh tanah air tetap saja tidak akan terjangkau oleh layanan perbankan yang masih terbatas. Ujung-ujungnya, UMKM akan tetap lari ke LKM formal maupun informal. Oleh karena itu perlu dicarikan terobosan untuk memberdayakan LKM di luar BRI Unit dan BPR agar UMKM dapat mengakses kebutuhan modal dengan mudah dan murah. Sesuai penelitian Abdul salam (2007), LKM yang dapat segera diberdayakan adalah KSP (Koperasi Simpan Pinjam).
KSP yang Sustainable
Dari penelitian yang dilakukan Abdul Salam (2007), ditemukan bahwa KSP ternyata mampu menjadi katup pengaman ketika terjadi krisis ekonomi. Ketika kondisi ekonomi menurun, kemampuan KSP dalam memobilisasi simpanan dan menyalurkan pinjaman kepada UMKM terus meningkat. Salah satu yang menyebabkan terjadinya hal ini karena KSP belum menjadi bagian yang terintegrasi dengan sistem keuangan nasional. Walaupun di satu sisi hal tersebut positif, namun dengan terpisahnya KSP dari sistem keuangan/perbankan maka KSP belum dapat memanfaatkan sumber dana bank untuk meningkatkan kapasitasnya.
Berbeda dari BPR atau BKD yang dibangun atas dasar peran komunitas (community based), KSP adalah lembaga yang dibangun sebagai milik bersama yang berdasarkan keanggotaan (member based) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama (dari dan untuk anggota). KSP seharusnya mampu menarik dan menggerakkan para anggotanya untuk menjaga sustainabilitas KSP demi kesejahteraan bersama.
Sesuai hasil penelitian Abdul Salam (2007), KSP dapat menjadi LKM yang sustainable, apabila kebijakan publik cukup kondusif yang menyangkut aspek-aspek antara lain:
Pertama, peningkatan efektivitas regulasi dan supervisi, kapasitas kelembagaan, dan permodalan. Faktor regulasi dan supervisi terbukti memiliki kontribusi untuk meningkatkan sustainabilitas KSP. Demikian pula faktor kapasitas lembaga dan modal secara bersama-sama.
Kedua, peningkatan implementasi prinsip kehati-hatian, standar keuangan, dan perangkat hukum yang memadai. Efektifitas supervisi KSP tergantung pada sistem pelaporan dan pengawasan. Supervisi KSP belum efektif karena rendahnya kemampuan staf pengawas dari dinas terkait dan masih belum teraturnya pelaporan sehingga penilaian tingkat kesehatan belum mencerminkan kinerja KSP secara aktual.
Ketiga, peningkatan kapasitas lembaga KSP melalui perbaikan kondisi internal, kapital sosial, dan infrastruktur kelembagaan. Perbaikan kondisi internal memerlukan kualitas SDM, jangkauan pasar, inovasi produk, dan manajemen operasional yang efisien. Peran tokoh dan karakteristik kelompok nasabah merupakan modal sosial yang penting guna meningkatkan kapasitas kelembagaan KSP. Infrastrukstur kelembagaaan KSP telah menuntut adanya lembaga pemeringkat, jasa audit, penjaminan simpanan, serta induk KSP.
Keempat, peningkatan permodalan. Aspek permodalan KSP ditentukan oleh jumlah simpanan anggota dan pinjaman yang berasal dari sumber eksternal. Keterbatasan kemampuan anggota dalam menabung, menyebabkan jumlah simpanan di KSP relatif kecil, sehingga memerlukan perkuatan permodalan. Untuk itu semangat menabung perlu digiatkan dan perlu pengingkatan sumber eksternal melalui dana bergulir pemerintah maupun perbankan (linkage program) dengan pinjaman komersial. Sumber dana eksternal dibutuhkan agar modal KSP cukup memadai untuk dapat menutup biaya operasional dan memperluas jangkauan pelayanan pada usaha mikro.
Kelima, peningkatan keberpihakan kepada usaha mikro. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tingkat sustainabilitas KSP ternyata tidak terpengaruh secara langsung oleh kondisi perekonomian makro. KSP terbukti dapat tetap berfungsi, walaupun keadaan ekonomi menurun dan terjadi krisis. Hal ini disebabkan oleh karakteristik usaha mikro yang bersifat adaptif dan fleksibel sehingga secara cepat mampu menyesuaikan keadaan dan potensi bisnis yang ada. Sifat adaptif dan fleksibelitas KSP tersebut memperlihatkan suatu potensi besar dalam penataan ekonomi masyarakat dan menjamin tetap bergeraknya sektor riil sehingga perekonomian dapat dijamin untuk tetap tumbuh. Oleh karena itu, KSP dapat menjadi katup pengaman dalam penanggulangan kemiskinan maupun perluasan lapangan kerja melalui pemberdayaan usaha mikro dan sektor informal. (Kompas, 14 Desember 2007)