Secara sederhana LKM mempunyai pengertian suatu lembaga jasa layanan keuangan tabungan dan kredit dalam skala mikro dan kecil secara berkelanjutan bagi masyarakat yang mempunyai usaha skala mikro dan kecil pula.
Latar belakang dibutuhkannya LKM adalah; Pertama, sebagai salah satu instrumen dalam rangka mengatasi kemiskinan. Masyarakat miskin pada umumnya mempunyai usaha skala mikro. Terminologi World Bank, mereka disebut sebagai economically active poor atau pengusaha mikro. Dalam konfigurasi perekonomian Indonesia, lebih dari 90% unit usaha merupakan usaha skala mikro. Mengembangkan usaha skala mikro merupakan langkah strategis karena akan mewujudkan broad bases development atau development through equity. Mereka membutuhkan permodalan guna mengembangkan kapasitas usahanya. Dengan usaha yang meningkat (menjadi usaha skala kecil), secara efektif akan mengatasi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri dan diharapkan dapat membantu masyarakat dalam kategori fakir miskin. Pada sisi lain, skim keuangan mikro sangat sesuai dengan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah.
Kedua, LKM dibutuhkan karena menjadi salah satu instrumen pengembangan pasar keuangan mikro. Secara pragmatis, pasar keuanan mikro merupakan aspek keuangan dari semua proses ekonomi di segmen mikro yang meliputi segala sesuatu yang menyangkut tabungan dan kredit usaha. Pada pemahaman ini dicantumkan kata tabungan dan kredit, guna menghindarkan pemahaman sempit seolah-olah di segmen mikro pelaku-pelaku usahanya hanya membutuhkan kredit, melupakan bahwa mereka mempunyai potensi menabung, dan/atau dapat diberdayakan mempunyai kemampuan menabung. Pendek kata, pada pasar keuangan mikro terdapat potensi besar dalam hal penawaran (tabungan) dan permintaan (kredit).
Di Indonesia, LKM dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) bentuk, formal, semi formal dan non-formal. LKM formal merupakan LKM yang keberadaannya telah mempunyai payung hukum Undang-undang. Termasuk LKM ini, adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR), berdasarkan Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan. Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi, berdasarkan Undang-undang nomor 25, tahun 1992 tentang perkoperasian.
LKM semi formal, merupakan LKM yang keberadaannya berdasarkan SK. Gubernur. Yang termasuk LKM ini antara lain, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali, Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat, serta Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Untuk Rakyat Kecil (KURK), Lumbung Kredit Pedesaan (LKP) masing-masing di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Dalam perkembangannya LKM semi formal ini dapat ditingkatkan statusnya menjadi LKM formal Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagaimana yang terjadi di Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Sementara LPD di Bali operasionalnya sebagai layaknya perbankan di bawah supervisi Bank Pemerintah Daerah (BPD) setempat.
Sedangkan LKM non-formal merupakan LKM yang keberadaanya berdasarkan inisiatip masyarakat sendiri atau ditumbuhkan oleh LSM serta beberapa Dinas. Oleh beberapa pihak, LKM non-formal ini disebut sebagai Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Masuk kedalam golongan KSM ini antara lain, Kelompok Simpan Pinjam (KSP), Kelompok Usaha Bersama (KUB), Kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS), BMT/BQ, dan Credit Union.
Jika memperoleh pembinaan yang memadai KSM-KSM ini dapat ditingkatkan menjadi LKM formal berbadan hukum koperasi. Kelompok Simpan Pinjam, UPPKS, Credit Union dapat ditingkatkan menjadi Koperasi Simpan Pinjam, KUB menjadi Koperasi Serba Usaha, dan BMT/BQ menjadi Koperasi Simpan Pinjam Syariah.
Untuk mengembangkan LKM, dikenal dengan tiga pendekatan. Pertama LKM untuk masyarakat. Kedua, LKM dengan masyarakat. Ketiga, LKM oleh masyarakat.
Pendekatan LKM untuk masyarakat menekankan pada credit led institution atau lembaga yang berperan utama sebagai penyedia pinjaman, di mana sumber dari financial support baik oleh masyarakat maupun sumber-sumber lain yang ditujukan untuk masyarakat terus diusahakan, sehingga tersedia dana yang cukup besar sebagai modal (capital heavy) bagi masyarakat.
Pendekatan LKM dengan masyarakat, mendasarkan diri pada kelembagaan yang yang sudah ada, baik formal, semi formal dan non formal. Ketiga lembaga yang secara nature berbeda dihubungkan dengan semangat simbiose mutualisme atau saling menguntungkan. LKM formal (BPR) akan diuntungkan dengan meningkatnya outtreach yakni jangkauan dan jumlah nasabah, sementara masyarakat akan mendapatkan akses financial support.
Sementara itu pendekatan LKM oleh masyarakat menekankan kepada saving led microfinance atau mengutamakan mobilisasi dana berdasarkan kemampuan masyarakat sendiri sebagai sumber financial support. Pelayanan keuangan hanya diperuntukan kepada anggota, atau membership base. Pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat serta semangat kemandirian pada pendekatan ini mendapatkan penekanan pula.
Dari ketiga pendekatan tersebut, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada pendekatan yang pertama, yakni LKM untuk masyarakat, masyarakat akan mudah mendapatkan akses financial support untuk memperkuat modal usahanya. Selain itu LKM ini akan nampak cepat berkembang terutama dari aspek pelayanan pinjamannya, karena tidak menerapkan mekanisme pasar. Namun pada sisi lain masyarakat akan memahami financial support tersebut merupakan dana hibah yang tidak perlu dikembalikan. Kondisi ini akan mengancam kesinambungan pelayanan keuangan LKM.
Pada pendekatan yang kedua, yakni LKM dengan masyarakat, masyarakat akan dibiasakan dengan mekanisme pasar, karena financial support yang diperoleh berasal dari LKM fomal (bank). Namun jika hakekat pendekatan ini oleh kedua belah pihak tidak dipahami sepenuhnya, hubungan antara LKM formal (bank) dengan LKM semi formal dan non formal yang seharusnya bersifat kemitraan akan berubah menjadi hubungan sebagaimana bank dengan nasabah pada umumnya.
Pada pendekatan yang ketiga, yakni LKM oleh masyarakat, fondasi keberadaan LKM sudah cukup kuat. Karena kewajiban ekonomi diantara anggota terbentuk mulai dengan tumbuhnya hubungan sosial, yang kemudian meningkat menjadi tumbuhnya kewajiban sosial. Untuk seterusnya berkembang menjadi hubungan ekonomi dan meningkat menjadi kewajiban ekonomi. Jika LKM ini dalam bentuk koperasi, maka ia akan menjadi koperasi yang benar-benar mencerminkan semangat dari, oleh dan untuk anggota. Kelemahan dari pendekatan ini adalah perkembangan LKM terkesan lambat, karena financial support yang diperoleh hanya mengutamakan sumber-sumber dari dan berdasarkan kemampuan anggota. Meskipun demikian, kelanjutan atau kesinambungan dari LKM lebih memberikan harapan. (Koran Rakyat, 19 April 2008)
Latar belakang dibutuhkannya LKM adalah; Pertama, sebagai salah satu instrumen dalam rangka mengatasi kemiskinan. Masyarakat miskin pada umumnya mempunyai usaha skala mikro. Terminologi World Bank, mereka disebut sebagai economically active poor atau pengusaha mikro. Dalam konfigurasi perekonomian Indonesia, lebih dari 90% unit usaha merupakan usaha skala mikro. Mengembangkan usaha skala mikro merupakan langkah strategis karena akan mewujudkan broad bases development atau development through equity. Mereka membutuhkan permodalan guna mengembangkan kapasitas usahanya. Dengan usaha yang meningkat (menjadi usaha skala kecil), secara efektif akan mengatasi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri dan diharapkan dapat membantu masyarakat dalam kategori fakir miskin. Pada sisi lain, skim keuangan mikro sangat sesuai dengan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah.
Kedua, LKM dibutuhkan karena menjadi salah satu instrumen pengembangan pasar keuangan mikro. Secara pragmatis, pasar keuanan mikro merupakan aspek keuangan dari semua proses ekonomi di segmen mikro yang meliputi segala sesuatu yang menyangkut tabungan dan kredit usaha. Pada pemahaman ini dicantumkan kata tabungan dan kredit, guna menghindarkan pemahaman sempit seolah-olah di segmen mikro pelaku-pelaku usahanya hanya membutuhkan kredit, melupakan bahwa mereka mempunyai potensi menabung, dan/atau dapat diberdayakan mempunyai kemampuan menabung. Pendek kata, pada pasar keuangan mikro terdapat potensi besar dalam hal penawaran (tabungan) dan permintaan (kredit).
Di Indonesia, LKM dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) bentuk, formal, semi formal dan non-formal. LKM formal merupakan LKM yang keberadaannya telah mempunyai payung hukum Undang-undang. Termasuk LKM ini, adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR), berdasarkan Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan. Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi, berdasarkan Undang-undang nomor 25, tahun 1992 tentang perkoperasian.
LKM semi formal, merupakan LKM yang keberadaannya berdasarkan SK. Gubernur. Yang termasuk LKM ini antara lain, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali, Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat, serta Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Untuk Rakyat Kecil (KURK), Lumbung Kredit Pedesaan (LKP) masing-masing di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Dalam perkembangannya LKM semi formal ini dapat ditingkatkan statusnya menjadi LKM formal Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagaimana yang terjadi di Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Sementara LPD di Bali operasionalnya sebagai layaknya perbankan di bawah supervisi Bank Pemerintah Daerah (BPD) setempat.
Sedangkan LKM non-formal merupakan LKM yang keberadaanya berdasarkan inisiatip masyarakat sendiri atau ditumbuhkan oleh LSM serta beberapa Dinas. Oleh beberapa pihak, LKM non-formal ini disebut sebagai Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Masuk kedalam golongan KSM ini antara lain, Kelompok Simpan Pinjam (KSP), Kelompok Usaha Bersama (KUB), Kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS), BMT/BQ, dan Credit Union.
Jika memperoleh pembinaan yang memadai KSM-KSM ini dapat ditingkatkan menjadi LKM formal berbadan hukum koperasi. Kelompok Simpan Pinjam, UPPKS, Credit Union dapat ditingkatkan menjadi Koperasi Simpan Pinjam, KUB menjadi Koperasi Serba Usaha, dan BMT/BQ menjadi Koperasi Simpan Pinjam Syariah.
Untuk mengembangkan LKM, dikenal dengan tiga pendekatan. Pertama LKM untuk masyarakat. Kedua, LKM dengan masyarakat. Ketiga, LKM oleh masyarakat.
Pendekatan LKM untuk masyarakat menekankan pada credit led institution atau lembaga yang berperan utama sebagai penyedia pinjaman, di mana sumber dari financial support baik oleh masyarakat maupun sumber-sumber lain yang ditujukan untuk masyarakat terus diusahakan, sehingga tersedia dana yang cukup besar sebagai modal (capital heavy) bagi masyarakat.
Pendekatan LKM dengan masyarakat, mendasarkan diri pada kelembagaan yang yang sudah ada, baik formal, semi formal dan non formal. Ketiga lembaga yang secara nature berbeda dihubungkan dengan semangat simbiose mutualisme atau saling menguntungkan. LKM formal (BPR) akan diuntungkan dengan meningkatnya outtreach yakni jangkauan dan jumlah nasabah, sementara masyarakat akan mendapatkan akses financial support.
Sementara itu pendekatan LKM oleh masyarakat menekankan kepada saving led microfinance atau mengutamakan mobilisasi dana berdasarkan kemampuan masyarakat sendiri sebagai sumber financial support. Pelayanan keuangan hanya diperuntukan kepada anggota, atau membership base. Pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat serta semangat kemandirian pada pendekatan ini mendapatkan penekanan pula.
Dari ketiga pendekatan tersebut, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada pendekatan yang pertama, yakni LKM untuk masyarakat, masyarakat akan mudah mendapatkan akses financial support untuk memperkuat modal usahanya. Selain itu LKM ini akan nampak cepat berkembang terutama dari aspek pelayanan pinjamannya, karena tidak menerapkan mekanisme pasar. Namun pada sisi lain masyarakat akan memahami financial support tersebut merupakan dana hibah yang tidak perlu dikembalikan. Kondisi ini akan mengancam kesinambungan pelayanan keuangan LKM.
Pada pendekatan yang kedua, yakni LKM dengan masyarakat, masyarakat akan dibiasakan dengan mekanisme pasar, karena financial support yang diperoleh berasal dari LKM fomal (bank). Namun jika hakekat pendekatan ini oleh kedua belah pihak tidak dipahami sepenuhnya, hubungan antara LKM formal (bank) dengan LKM semi formal dan non formal yang seharusnya bersifat kemitraan akan berubah menjadi hubungan sebagaimana bank dengan nasabah pada umumnya.
Pada pendekatan yang ketiga, yakni LKM oleh masyarakat, fondasi keberadaan LKM sudah cukup kuat. Karena kewajiban ekonomi diantara anggota terbentuk mulai dengan tumbuhnya hubungan sosial, yang kemudian meningkat menjadi tumbuhnya kewajiban sosial. Untuk seterusnya berkembang menjadi hubungan ekonomi dan meningkat menjadi kewajiban ekonomi. Jika LKM ini dalam bentuk koperasi, maka ia akan menjadi koperasi yang benar-benar mencerminkan semangat dari, oleh dan untuk anggota. Kelemahan dari pendekatan ini adalah perkembangan LKM terkesan lambat, karena financial support yang diperoleh hanya mengutamakan sumber-sumber dari dan berdasarkan kemampuan anggota. Meskipun demikian, kelanjutan atau kesinambungan dari LKM lebih memberikan harapan. (Koran Rakyat, 19 April 2008)