Mengubah Buruh Tani Jadi Pemilik Tanah

Kemiskinan tak selalu karena ketiadaan keterampilan. Namun, keterampilan memerlukan dana untuk mengolahnya menjadi kekuatan ekonomi.

Dorongan dana inilah yang diterima Rosliana Sinaga (30) saat ia menghitung puluhan lembar Rp 50.000-an di tangan, Senin (16/3). ”Ada Rp 8 juta,” katanya.

Tujuh tahun lalu, warga Desa Tanjung Baringin, Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, ini hanya menerima satu lembar Rp 10.000 setiap hari. Itulah upahnya sebagai buruh tani.

Ditemui di Kantor Credit Union (CU) Pesada Perempuan, Jalan Boang 28, Sidikalang, Rosliana tengah meminjam uang. Ia bercerita, uang itu akan dipergunakan untuk tambahan membeli tanah. Ia hendak membeli tanah seluas 7 rante (1 rante sama dengan 400 meter persegi), tapi uangnya hanya cukup untuk 3 rante.

Rosliana telah memiliki tanah yang ditanami cabe dan kopi seluas 23 rante atau 9.200 meter persegi. Semuanya dari hasil meminjam di CU sebanyak empat kali dengan pinjaman pertama sebesar Rp 350.000. Ia masih mengerjakan kebun itu, dibantu orang-orang upahan.

Naik kelas dari buruh tani menjadi pemilik lahan dimulai dengan langkah Rosliana menjadi anggota CU Setia bersama 47 temannya. Saat ini, dengan tabungan Rp 4.420.000, ia bisa meminjam uang tiga kali lipat dari besarnya tabungan.

Selain simpanan sukarela, setiap bulan ia juga membayar simpanan pokok Rp 20.000 dan simpanan wajib Rp 12.000. Pendapatannya dari kopi saja rata- rata Rp 25 juta per tahun. Itu belum termasuk pemasukan dari cabe dan tanaman semusim lain. Sedangkan suaminya, tukang becak di pasar, paling banyak mendapat Rp 70.000 per hari.

Kini ada sekitar 2.560 anggota CU Pesada Perempuan yang tersebar di Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat. Wilayah ini banyak menghasilkan kopi Sidikalang yang tersohor. Menurut Wakil Direktur Pesada Perempuan Maringan S Pardede, beberapa anggota memulai simpanan wajib sebesar Rp 300 per bulan pada tahun 1993.

Basis Credit Union

Basis CU adalah kelompok masyarakat yang berswadaya dan saling mengontrol. Setiap bulan diadakan pertemuan kelompok untuk menabung dan meminjam. Dua hari setelah pertemuan kelompok, koordinator harus menyetorkan uang dan laporan kepada CU Pesada Perempuan. Ini salah satu cara menghindari penyelewengan dana.

Selain buku tabungan, ada juga catatan di kelompok dan di CU Pesada Perempuan. Syarat agar disetujui untuk meminjam adalah anggota aktif dan suami menjadi penjamin, dengan bunga 3 persen per bulan.

Di Kantor CU Pesada Perempuan di Pasar Sidikalang, tulisan pada papan pengumuman menunjukkan jadwal pertemuan tiap CU wilayah itu, daftar kontak kelompok, hingga daftar peminjam yang akan datang untuk pinjaman di atas Rp 5 juta.

”Semua terbuka, anggota tak hanya bisa bertanya, tetapi siapa pun yang datang bisa melihat,” kata Maringan S Pardede.

Keterbukaan itu menjadi sarana anggota untuk saling mengontrol. Per Desember 2008, total kredit macet hanya 3,4 persen dari Rp 3,112 miliar pinjaman yang beredar. ”Kalau mamaknya si A tak bayar utang, diangkatlah babinya,” ujar Ramida Sinaga, Manajer CU Pesada Perempuan, menceritakan kebijakan kelompok ini terhadap kredit macet.

Menurut Ramida, keberadaan CU adalah cara masuk untuk sebuah agenda yang lebih besar, yaitu pemberdayaan perempuan dengan meningkatkan posisi tawarnya di ruang publik maupun privat. Oleh karena itu, dalam pertemuan bulanan selalu ada tema yang dibahas, mulai dari sosialisasi cara pencontrengan surat suara hingga hubungan harmonis suami-istri.

”Semua anggota kami perempuan,” kata Ramida. Pertimbangannya, di kawasan ini sudah menjadi pemandangan biasa kalau para suami duduk di kedai kopi, sedangkan istri membanting tulang di ladang.

Kondisi ekonomi yang sulit memberikan beban yang lebih berat lagi untuk perempuan, dari menghidupi keluarga hingga melayani suami. Tradisi meletakkan perempuan sebagai obyek berbagai kekerasan, baik ekonomi maupun fisik. Peningkatan ekonomi perempuan berhubungan langsung dengan kesehatan dan tingkat pendidikan anak. Dengan demikian, diharapkan terjadi perbaikan pada generasi mendatang.

Awalnya takut

Semua itu tak mudah. Mariana br Sitinjak (43) yang tergabung dengan CU Marsada bercerita, ia mengajak 16 saudara dan kawannya bergabung di CU tahun 1999. Awalnya mereka takut kalau uang mereka dibawa lari. Keaktifannya di CU sempat ditentang sang suami.

Bahkan masyarakat, terutama kaum pria, memelesetkan CU menjadi ceda ulaan yang artinya ”kerjanya merusak saja”. Cerita lain, pernah seorang ibu diseret suaminya pulang saat tengah mengikuti pertemuan CU.

Tiga tahun setelah bergabung dengan CU, baru Mariana mendapat dukungan suami. Di pertemuan CU ia belajar bagaimana mengatur keuangan rumah tangga. Perempuan yang semula bekerja sebagai buruh tani berbayaran Rp 4.000 per hari ini perlahan bisa memperbaiki diri dan keluarga.

Kalau semula ia meminjam kepada rentenir di pasar dengan bunga puluhan persen, kini ia mengalihkannya kepada CU. Ia ingat, pinjaman pertamanya Rp 200.000 untuk membeli bibit jagung dan pupuk agar produksi jagungnya naik dari sekitar 1 kilogram menjadi 5 kilogram.

Perbaikan itu tak hanya pada sisi ekonomi keluarga. Berkat diskusi di CU, perempuan yang kini menjadi petugas CU Pesada Perempuan ini tahu bahwa ada anggaran dari pusat untuk perempuan dalam keuangan desa.

”Aku tanyalah kepada kepala desa, mana anggaran untuk PKK, kan ada itu dari pusat,” katanya.

CU Pesada Perempuan adalah dampingan organisasi pemberdayaan perempuan Sada Ahmo di Dairi, Sumatera Utara. Dengan 40 cabang CU di wilayah itu, asetnya mencapai Rp 3,138 miliar.

Masyarakat membuktikan, sistem pengelolaan dana mandiri di luar birokrasi bisa menjadi upaya penanggulangan kemiskinan. Ini tak sekadar membagi-bagikan uang yang bisa melestarikan budaya ketergantungan. (Kompas, 16 April 2009)