Dari Evaluasi Gerakan Credit Union


Apa kabar Komisi PSE berkenaan dengan salah satu prioritasnya, gerakan Credit Union ? Itulah pertanyaan umum yang direfleksikan bersama dalam Evaluasi Gerakan Credit Union Keuskupan Surabaya di Wisma St. Catharina, Puhsarang, Kediri 25-26 April 2009 lalu. Kegiatan yang dihadiri khusus oleh para Seksos paroki dan pengurus Credit Union se-Keuskupan Surabaya itu dihadiri oleh sekitar 150 orang.

Sebagaimana komitmen para pengurus Seksos paroki dalam pertemuan di Puhsarang 10-12 November 2006 tiga tahun lalu, dalam rangka menjawabi masalah kemiskinan dan situasi umat berkenaan dengan persoalan sosial ekonomi, maka disepakati bersama bahwa Credit Union menjadi salah satu prioritas gerakan Seksos paroki selama 5 tahun. Disebutkan dalam kesepakatan bersama saat itu, membentuk dan mengembangkan koperasi / Credit Union sesuai dengan sistem yang berlaku. Setelah hampir 3 tahun berjalan, kini saatnya duduk bersama untuk mengevaluasi komitmen tersebut.

Kabar Gembira

Menggembirakan, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan komitmen para pengurus Seksos paroki. Credit Union yang sudah ada semakin bertambah anggota dan asetnya, Credit Union baru hadir di beberapa paroki. Bahkan gerakan Credit Union tidak hanya diminati oleh mereka yang berbasis paroki namun juga dirintis oleh beberapa kelompok misalnya Pukat yang mendirikan CU Pukat Swadaya Sejahtera dan alumnus Seminari Garum yang mendirikan CU Omnia.

Kehadiran CU tersebut selaras dengan komitmen gerakan CU untuk menjawabi persoalan sosial ekonomi dan mensejahterakan anggotanya. Sebagaimana disebutkan dalam pleno banyak kesaksian tentang beberapa manfaat CU yang dapat dirasakan anggota sejak pendiriannya ialah untuk menyelamatkan dan mengembangkan uang, CU menyediakan produk atau jasa seperti asuransi, dana kematian, pinjaman untuk modal usaha produktif, untuk para pedangang bakul kecil, pertanian, pinjaman yang dinamakan pinjaman konsumtif untuk membeli sepeda motor atau perbaikan rumah yang rusak, dana kesehatan untuk biaya rawat inap, keperluan anggota yang sakit, dana pendidikan untuk biaya pendidikan anak maupun dana sisa hasil usaha yang bermanfaat praktis. Efek domino dari manfaat CU itu ialah bertambahnya anggota, karena CU bermanfaat, mudah diakses dan tidak berbelit-belit.

Selain itu, dari sudut pandang sosial-komunal kehadiran CU menjadi bentuk solidaritas nyata yang menghadirkan sarana perjumpaan dengan umat beragama lain, dalam rupa dialog karya. CU memberi kesaksian dan tanda bahwa orang Katolik hadir sebagai perintis gerakan yang tujuannya demi kesejahteraan umum yang inklusif (tidak eksklusif), bahkan orang Katolik terpercaya dalam mengelola keuangan. Pula sebagai medan untuk mengkonkretkan habitus baru dan mewartakan nilai dengan ajakan menomorsatukan menabung dan meminimalkan pengeluaran tak mendesak. Terbukti pula kehadiran CU justru menciptakan lapangan pekerjaan dengan gaji di atas upah minimum regional (UMR).

Berkenaan dengan dukungan para pastor dan dewan paroki ada beragam bentuk, ada pastor yang mendorong kehadiran CU di Parokinya, memberi teladan dengan menjadi anggota CU, mempromosikan CU dalam kotbah dan renungan atau selalu mengingatkan para pengurus untuk mengadakan pertemuan. Ada pula yang mendukung dengan cara meminjamkan fasilitas seperti meja, kursi, komputer hingga penyediaan ruangan. Pula dukungan dewan paroki yang memberi modal awal untuk CU rintisan dari dana paroki, yang kelak harus dikembalikan.

Kabar Kurang Menggembirakan

Di balik kabar gembira ada kabar yang kurang menggembirakan. Di antaranya ialah masih ada paroki yang enggan mendirikan CU. Ada beragam sebab, sebagaimana dipaparkan ialah tiadanya restu dari pastor dan pengurus dewan, kurangnya niat untuk memulai mendirikan CU. Atau di paroki sudah ada yang memulai mendirikan CU namun kurang mendapat tanggapan positif, entah dari umat dan para pengurus struktural dewan paroki, pengurus wilayah dan lingkungan. Bahkan ada yang terpaksa vakum karena justru para pengurus CU yang tidak serius sehingga melanggar komitmen pendirian CU hingga citra CU ikut rusak. Tidak hanya itu, citra orang Katolik menjadi ternoda, seperti ungkapan, “Ternyata orang Katolik itu ada yang tidak jujur dan tidak bisa dipercaya”.

Masalah lain yang dihadapi oleh CU pun beragam, seperti anggota yang tidak tertib, kesadaran menabung dan melunasi pinjaman yang kurang, namun keinginan untuk meminjam tinggi, serta terjadinya kredit macet. Selain itu, anggota jika berpindah tempat tidak memberitahu, keanggotaan yang masih ekslusif terbatas untuk orang Katolik saja dan aneka hal yang makin memperburuk citra CU sehingga membuat umat trauma dan enggan bergabung menjadi anggota. Bahkan malah ada yang justru mengabarkan citra buruk tentang CU. Salah satu kesimpulan menarik, situasi teritorial pedesaan lebih subur menjadi tempat bertumbuhkembangnya CU dibandingkan situasi teritorial perkotaan atau metropolitan.

Unik sekali, ketika muncul pernyataan bahwa yang berminat bergabung dengan CU sebagian besar berasal dari kalangan menengah ke bawah, diiringi pertanyaan, bagaimana menjaring agar kelas menengah ke atas mau menjadi anggota CU?. Sebuah lompatan kemajuan dibandingkan ketika awal CU dipromosikan di Keuskupan Surabaya, saat itu muncul pertanyaan pesimis, “bagaimana orang miskin bisa diajak menabung, sementara untuk makan dan kebutuhan sehari-hari saja sudah susah” Setelah 3 tahun, terbukti bahwa orang miskin bisa dan mampu menabung asal dididik.

Harapan

Di balik aneka penilaian, entah yang menggembirakan dan yang kurang menggembirakan tetap ada harapan. Demikian kesimpulan yang bisa diambil dari komitmen para pengurus Seksos dan pengurus Credit Union. Pada intinya mereka menyepakati, dengan segala kelebihan dan kekurangan, tantangan dan hambatan, Credit Union masih menjadi pilihan untuk menjawabi persoalan sosial ekonomi di kalangan umat dan menggeser karya pelayanan sosial Gereja yang dominan berpola karitatif ke pola pemberdayaan. Sebagaimana disebut dalam SAGKI 2005, bahwa Credit Union menjadi alternatif pintu masuk mengatasi persoalan kemiskinan.

Harapan tersebut tertuang dalam aneka masukan, yaitu: agar paroki, stasi yang belum memiliki CU belajar ke paroki, stasi lain yang sudah memiliki CU di kevikepannya, kemudian menyiapkan sumberdaya yang baik untuk merintis pendirian CU. Sebaliknya paroki yang sudah memiliki CU mendorong paroki lain di kevikepannya untuk mau belajar dan mendirikan CU. Pula usulan agar di beberapa paroki yang sudah memiliki CU tetap konsisten memajukan CU dengan berbagai cara agar semakin berkembang, seperti mensosialisasikan terus menerus dalam berbagai kesempatan, bahkan memohon Bapa Uskup, para pastor serta pengurus struktural dewan paroki, pula di wilayah dan di lingkungan untuk menyuarakan Credit Union sebagai alternatif pemberdayaan sosial ekonomi. Tak kalah penting ialah kehendak meningkatkan jumlah anggota dengan mengadakan pendidikan calon anggota, selain usaha anggota sendiri mencari anggota baru, bila perlu menghadirkan motivator CU dari lokal Keuskupan Surabaya.

Tak kalah penting dukungan dari berbagai pihak, secara khusus Komisi PSE, untuk konsisten menjadikan Credit Union sebagai gerakan, sampai batas waktu tidak menentu. Dengan mengaktifkan tim CU Keuskupan dan tim CU kevikepan untuk memberikan animasi dan sosialisasi, memfasilitasi pelatihan-pelatihan seperti Pendidikan Dasar Manajemen Koperasi khususnya tentang kredit macet, analisa kesehatan CU, memasarkan CU, mengembangkan aset serta membangun jejaring antar CU di Keuskupan Surabaya. Semoga !