Dasar utama keuangan mikro adalah bisnis sehingga harus mengejar profit atau untung. Jika tidak menghasilkan keuntungan, bisnis tidak berlanjut. Misi sosial dalam keuangan mikro merupakan tambahan manfaat. Bahkan, konsepnya masih cukup baru.
”Karena ini bisnis dan bukan hibah, maka harus profit,” kata Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional Sigit Pramono kepada wartawan di sela-sela International Microfinance Conference, di Yogyakarta. Konferensi berlangsung sampai Selasa (23/10).
Pendapat itu dikemukakan Sigit mengomentari pernyataan Ruben C De Lara dalam paparannya pada konferensi. Ruben, President SHED Filipina, menegaskan, keuangan mikro masih berorientasi profit, belum banyak masuk ke wilayah sosial.
Menurut Sigit, bank yang masuk ke wilayah bisnis tertentu, termasuk mikro, telah memperhitungkan banyak hal, termasuk faktor risiko. Dengan demikian, bank tidak bisa setiap saat bergeser ke arah bisnis lain.
Direktur Kredit, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta bank perkreditan rakyat Bank Indonesia, Zainal Abidin, mengakui, setiap bisnis yang dilakukan perbankan tentu memerlukan ongkos atau biaya. ”Kecuali tanggung jawab sosial yang bisa tidak mengharuskan profit,” tuturnya.
Direktur Commercial & Business Banking PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Sunarso yang ditemui terpisah mengatakan, kredit mikro seolah-olah menerapkan margin tinggi. Padahal tidak karena biaya dana dan biaya operasionalnya tinggi.
”Kalau semata-mata mengejar keuntungan, tidak. Strategi kami di mikro adalah memperbesar market base,” ujar Sunarso. Risiko bisnis mikro perbankan cukup besar. Padahal, pengelolaannya tidak sederhana.
Per Juli 2012, kredit UMKM di Bank Mandiri tumbuh cukup baik. Kredit usaha mikro mencapai Rp 4,8 triliun, kredit usaha kecil mencapai Rp 14 triliun, dan kredit menengah mencapai Rp 28,6 triliun.
Per Agustus 2012, baki debet kredit UMKM bank umum di Indonesia sebesar Rp 487,917 triliun. Jumlah kredit macetnya sebesar Rp 19,245 triliun.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI-P, Arif Budimanta, menyoroti lembaga keuangan mikro yang memiliki entitas ganda, yakni entitas bisnis dan entitas sosial. Sebagai entitas bisnis, lembaga keuangan mikro dituntut agar kelangsungan usahanya berlanjut.
Akan tetapi, sebagai entitas sosial, lembaga keuangan mikro merupakan gerakan pembangunan sosial yang secara struktural memberikan akses lebih mudah kepada pengusaha kecil untuk memperoleh pinjaman.
”Temuan saya, banyak pengusaha kelas UMKM yang tidak mendapatkan kredit walaupun sudah ada kredit usaha rakyat,” ujar Arif, yang dihubungi Kompas, di Jakarta, Selasa (23/10). (Kompas, 24 Okt 2012)