Bisnis Sosial Jadi Solusi

Pengembangan bisnis sosial yang memecahkan masalah di sekitar masyarakat tidak perlu menunggu insentif atau bantuan dari pemerintah. Bisnis sosial bisa dibentuk secara mandiri melalui kerja sama usaha. Bentuk bisnis berupa produk yang terjangkau warga.
 
Demikian dikemukakan pendiri Bank Grameen, Muhammad Yunus, dalam kuliah umum Peran Kewiraswastaan Sosial dalam Konteks Pengentasan Kemiskinan, yang diselenggarakan Danone Group, di Jakarta, Rabu (24/10). Peserta kuliah umum adalah para akademisi dan mahasiswa.
 
Yunus mengatakan, bisnis sosial dibuat untuk memberdayakan masyarakat miskin agar mendapatkan pekerjaan lebih baik serta menghasilkan produk yang bisa dijangkau masyarakat miskin.
 
Dicontohkan, usaha mikro, kecil, dan menengah yang menjadi binaan kredit keuangan mikro dari Bank Grameen saat ini menjual semua produk dengan harga di bawah 1 euro.
 
Sementara itu penggagas Dompet Dhuafa, Erie Sudewo, mengemukakan, misi sosial perusahaan sejatinya bisa diterapkan oleh badan usaha milik negara (BUMN) ataupun badan usaha milik daerah (BUMD). Hal ini karena BUMN dan BUMD dibangun oleh negara, yang berarti milik rakyat.
 
”Peran BUMN dan BUMD sangat strategis sebagai lokomotif membangun ekonomi dan mengatasi kemiskinan,” ujarnya.
 
Terkait dengan itu, pemerintah sewajarnya memberikan dana bagi BUMN dan BUMD. Tanggung jawab sosial badan usaha melalui program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) memiliki manfaat besar untuk kegiatan sosial.
 
Ia menambahkan, kemiskinan di Indonesia tidak berdiri sendiri. Kemiskinan itu disebabkan ketidakmampuan mengelola sumber daya. Padahal, Indonesia memiliki kekayaan potensi alam.
 
Kewirausahaan sosial Dompet Dhuafa, yang didirikan tahun 1993, bertujuan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat miskin, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Dana dihimpun dari pemberi zakat yang dikelola untuk memberikan kail bagi pemberdayaan masyarakat miskin.
 
Potensi warga tak tergali
 
Menurut Yunus, pada era kapitalis, orang berorientasi pada uang dan perusahaan mencari untung sebesar-besarnya. Interpretasi dari hal itu menyebabkan uang dikejar dan diburu.
 
Sistem yang sama juga tidak memberikan peluang bagi warga negara dengan tingkat pendidikan rendah untuk berkembang. Tidak ada upaya menggali kemampuan mereka dan menempatkan pada bidang kerja yang sesuai dengan keahlian.
 
Sementara itu, sistem perbankan yang konvensional tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin untuk memperbaiki hidup.
 
”Kemiskinan disebabkan oleh sistem. Apa pun yang dilakukan untuk membantu orang miskin tidak akan berhasil jika tidak mengubah sistem yang salah,” ujar Yunus, peraih Nobel Perdamaian tahun 2006.
 
Perubahan sistem menjadi tantangan bagi dunia usaha. Bisnis memiliki dua pilihan orientasi, yakni mencari keuntungan atau menciptakan bisnis sosial untuk memecahkan masalah.
 
Bisnis sosial, ujar Yunus, merupakan kegiatan bisnis yang dilakukan dengan tidak memikirkan laba yang dihasilkan, tetapi lebih bertujuan memberdayakan kaum miskin dengan pemberian modal usaha.
 
Ketika mendirikan Bank Grameen di Dhaka, Banglades, pada tahun 1976, Yunus merombak sistem perbankan yang inklusif. Orang miskin bisa mendapatkan kredit tanpa agunan ataupun kolateral. (Kompas, 25 Okt 2012)