Gerakan koperasi di Indonesia saat ini sudah kehilangan arah dan tujuan. Salah satu dampaknya, kebanyakan masyarakat bergabung dengan koperasi dengan tujuan mendapat untung sebesar-besarnya.
Akibatnya, lebih banyak koperasi yang gulung tikar ketimbang yang mampu bertahan menghadapi krisis. Hal itu mengemuka dalam diskusi mengenai gerakan koperasi Indonesia di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (2/3/2012).Hadir sebagai pembicara, mantan Direktur Jenderal International Co-operative Alliance (ICA) Bruce Thodarson, pendiri Koperasi Kredit Credit Union Robby Tulus, dan pengurus Badan Koordinasi Kredit Indonesia Trisna Ansarli.
Menurut Robby, gerakan koperasi kini melenceng jauh dari prinsip ekonomi kerakyatan berdasarkan azas kekeluargaan. Kelebihan koperasi seperti efisiensi biaya serta peningkatan skala ekonomi hampir 15 tahun ini tidak terlihat.
"Ini tidak lepas dari sikap pemerintah yang memanjakan koperasi sehingga tak pernah berdikari," ungkap Robby yang juga mantan Direktur ICA Regional Asia Pasific. Akibatnya, partisipasi anggota di koperasi sangat minim.Ini juga disebabkan kurangnya pendidikan serta pelatihan yang diberikan pengurus kepada para anggotanya. Sebab, para pengurus beranggapan hal itu tidak menghasilkan manfaat bagi mereka. Selain itu, sosialisasi mengenai prinsip dan tujuan koperasi belum maksimal.
Masyarakat yang menjadi anggota hanya tahu koperasi untuk melayani konsumen. Mereka belum paham bahwa dalam koperasi, konsumen berarti pemilik dan berhak berpartisipasi menyumbang saran demi kemajuan koperasi.Koperasi menjadi sangat rentan terhadap penyelewengan dana oleh pengurus, karena tanpa kontrol dari anggotanya. "Ini yang membuat banyak terdengar koperasi bangkrut karena uangnya dilarikan para pengurus," ungkap Robby. (Kompas, 2 Mar 2012).