Kembali Ke Khitah Koperasi

12 Juli, kita kembali merayakan Hari Koperasi. Apakah kita masih pantas merayakan keterpurukan koperasi yang pernah digadang-gadang sebagai saka guru ekonomi bangsa? Koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi nasional telah tertinggal perkembangannya bila dibandingkan dengan pelaku ekonomi lainnya.

Jika kita hanya membandingkan pelaku ekonomi swasta dan BUMN/BUMD dengan koperasi yang guram dan belum menerapkan organisasi modern, hal itu ada benarnya. Pangsa koperasi dari segala aspeknya tidak lebih dari 10% (Dawam Raharjo, 2002). Karena itu, salahkah founding fathers bangsa ini ketika memilih koperasi sebagai bentuk ideal ekonomi bangsa ini?Pemikir ekonomi kontemporer banyak menganggap koperasi tidak perlu dipertahankan. Golongan itu sejak semula tidak percaya koperasi berfungsi melayani kebutuhan anggota. Secara teoretis, mereka menjatuhkan 'fatwa' bahwa koperasi adalah organisasi yang tidak efisien dan akan tetap kerdil.

Perlu kita meninjau apakah keterpurukan koperasi karena secara konsep memang koperasi tidak cocok bagi bangsa Indonesia atau praktiknya tidak benar. Penting untuk melihat sisi positif dari koperasi sebagai bahan untuk berpikir cover both sides.

Berdasarkan data sampai 2003 jumlah anggota koperasi 27,28 juta orang, meningkat 19,35% dari 2000. Koperasi juga mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 226.954 orang yang terdiri dari 25.493 manajer dan 201.461 karyawan. Artinya, koperasi mampu menciptakan lapangan kerja sebesar 51,79% dari tenaga kerja yang mampu diserap usaha besar. Volume usaha koperasi mengalami peningkatan 37,02% menjadi Rp31.682,95 miliar dari volume usaha koperasi pada 2000.

Jika angka-angka pada koperasi itu disinergikan dengan UMKM, keduanya akan menguasai 58,29% dari komposisi PDB (tanpa migas) Indonesia, sekitar 99% dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta mempunyai andil 99,6% dalam penyerapan tenaga kerja. Fakta yang tak terbantahkan, koperasi dan UMKM adalah 'dewa penolong' di saat Indonesia dalam krisis. Terlepas dari lemahnya sistem koperasi, kita tidak boleh mengingkari jasa koperasi yang demikian kuat pengaruhnya bagi masyarakat.

Di bawah arus rasionalisasi subsidi dan independensi perbankan, ternyata koperasi mampu menyumbang sepertiga pasar kredit mikro di Tanah Air. Apalagi kegagalan paradigma trickle down effect seharusnya membuat kita mengevaluasi sistem makroekonomi dan melirik kembali koperasi.

Koperasi Semu

Meski fakta tersebut menunjukkan keberadaan koperasi, pemarginalan koperasi adalah permasalahan tersendiri. Meskipun secara agregat memiliki skala besar, koperasi tidak menjadi prioritas strategis. Pembangunan koperasi di Indonesia menghadapi berupa ambivalensi kebijaksanaan ekonomi makro pemerintah yang tidak berorientasi kepada pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Secara konkret hal itu bisa dilihat dari masih besarnya pendanaan APBN untuk menopang obligasi rekap yang pada hakikatnya adalah wujud keberpihakan kepada konglomerat yang telah menjerumuskan bangsa dalam kebangkrutan.

Akibatnya, pembangunan koperasi yang dilakukan pemerintah hanyalah lips service dan formalitas. Perlakuan khusus yang selama ini diberikan kepada koperasi seperti pemberian subsidi, kredit murah, dan berbagai kemudahan lainnya lebih banyak menimbulkan ketidakefisienan daripada keuntungan secara nasional. Akibatnya, upaya untuk membangun dirinya sendiri tidak terdengar. Ketergantungan kepada pemerintah demikian besar sehingga koperasi enggan bersusah payah. Sadar atau tidak sadar, koperasi telah kehilangan makna 'swasembada'. Dengan hilangnya keswasembadaan, keterpurukan koperasi bukan karena kesalahan kaidah-kaidah koperasi, tetapi karena penyimpangan kaidah koperasi.

Penyimpangan kaidah itulah yang kemudian menimbulkan koperasi 'palsu' sebagai istilah yang dialamatkan kepada koperasi yang tidak mengindahkan prinsip koperasi. Latar belakang dari koperasi 'palsu' bukanlah untuk menyejahterakan anggotanya, melainkan untuk mendapatkan fasilitas. Keberadaan koperasi 'palsu' ini secara kasatmata ditunjukkan dengan besarnya angka koperasi tidak aktif sebesar hampir 30%. Pada 2004, dari total 130.730 koperasi terdapat 37.328 koperasi tidak aktif (Sumber Statistik Perkoperasian).

Dengan demikian, meski koperasi dari sisi kuantitas 'meriah', secara substansi dan kualitas sama sekali tidak mencerminkan misi yang seharusnya diemban lembaga koperasi, yaitu penggerak ekonomi riil.Penyimpangan koperasiSetidaknya, ada tiga penyimpangan yang terjadi dalam koperasi. Pertama, tidak dipenuhinya hak-hak anggota secara penuh. Dalam koperasi, seharusnya anggota melalui rapat anggota tahunan (RAT) adalah pemegang 'kedaulatan' tertinggi dalam koperasi. Anggota memiliki hak menyatakan pendapat, hak memilih yang bebas, dan hak mengawasi.

Alih-alih hak anggota terpenuhi total, RAT pun hanya dilaksanakan 35% dari total koperasi. Hal itu bersumber dari dominasi pengurus yang demikian besar. Bahkan, kebanyakan anggota, terutama di pedesaan, tidak memahami hak-hak mereka. Menerima SHU sudah cukup bagi mereka. Di situlah aspek gotong royong dan demokrasi diabaikan begitu saja.

Kedua, pendirian koperasi berdasarkan kebutuhan anggota yang tidak jelas. Banyak nelayan di daerah pantura yang tidak sependapat dengan bentuk koperasi nelayan. Koperasi nelayan hanya menyediakan kebutuhan seperti jaring, dayung, dan sebagainya. Padahal, nelayan menginginkan koperasi bisa mendirikan SPBU solar dengan harga murah. Terlihat bahwa koperasi tidak jelas dalam mendefinisikan core business yang sesuai dengan kebutuhan anggota. Mismatch antara koperasi dan kebutuhan anggota sangat kontraproduktif bagi kemajuan koperasi.

Ketiga, minimnya sistem organisasi yang maju dan profesional. Memang ada beberapa koperasi yang berhasil. Namun, jumlah koperasi yang maju dapat dihitung dengan jari. Sebagai entitas usaha, seharusnya keprofesionalan adalah titik tolak yang sangat penting. Pengembangan profesionalisme demi peningkatan kapasitas merupakan syarat agar koperasi mampu menjadi pengimbang dalam masyarakat ekonomi pasar kapitalistik.

Reposisi

Ada empat langkah yang dapat diambil untuk mengembalikan 'khitah' koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat. Pertama, menerapkan pendidikan anggota, pengurus, pengelola koperasi yang berkelanjutan. Hal itu penting agar masyarakat memahami betul prinsip-prinsip koperasi yang sebenarnya. Kampus juga bisa berperan sebagai center of excellent bagi pelurusan jati diri koperasi.

Kedua, reformasi struktural dalam tubuh koperasi. Dengan mengingat anggota sering tidak maksimal dalam forum RAT, alangkah baiknya membentuk Dewan perwakilan anggota (DPA), semacam komisaris dalam perusahaan. DPA kemudian menunjuk pengurus, baik dari anggota maupun bukan anggota. Pengurus bertanggung jawab menjalankan koperasi dengan imbalan secara ekonomi. Perubahan ini diharapkan lebih mendorong manajemen ke arah profesional.

Ketiga, mendorong single purpose cooperative dengan core business layak. Itu merupakan upaya untuk menuju efisiensi biaya rendah. Koperasi tunggal usaha seperti koperasi peternakan telah terbukti efisien karena memusatkan kepada usaha tertentu.

Keempat, mendorong merger bagi koperasi kecil serta mendorong aliansi strategis/jaringan usaha dalam rangka meningkatkan economies of scale.

Selain itu, dalam mengatasi permodalan, lebih baik simpanan wajib dihapuskan karena sulit dalam memungutnya (kecuali anggota koperasi berada dalam satu institusi yang memungkinkan pemotongan gaji). Sebagai gantinya simpanan pokok diperbesar dan bisa dicicil.Empat langkah tersebut adalah awal untuk mereposisi koperasi agar bisa tampil sebagai agent of development bagi kemajuan bangsa. Tidak seperti perusahaan yang merupakan kumpulan modal, koperasi adalah himpunan manusia. Untuk itu, kesamaan visi dan misi yang jelas harus dibangun terlebih dulu dengan mantap.Memang tidak berarti semua masalah ekonomi Indonesia akan selesai dengan koperasi. Namun, paling tidak dengan reposisi itu, koperasi dapat memantapkan diri sebagai bentuk penggalang dan pembangun ekonomi rakyat yang paling feasible. Membangun koperasi berarti mengampanyekan budaya emansipasi dan partisipasi ekonomi rakyat. Itulah tugas kita. (Awidya Santikajaya, Pengajar Fakultas Ekonomi UI )