Memutus Kemiskinan Dan Jalan Ekonomi Rakyat

Poverty is not caused by poor people
Poverty is caused by system we built and policy we pursue
We did something wrong and poverty exist
We have to do right and poverty will disappear
(Muhammad Yunus, VCD Poverty Free World 2008)


Mari sejenak menakar kekuatan ekonomi rakyat. Dalam hal kuantitas, usaha menengah kecil dan mikro mencapai 48,93 juta unit atau 99,9% dari total pelaku usaha nasional (BPS, 2006). Dari jumlah itu, 26,2 juta unit di antaranya bergerak di sektor pertanian pedesaan. Sebagian besar UMKM di luar sektor pertanian bergerak di sektor perdagangan, hotel, dan restoran (58% atau 13 juta unit usaha), disusul di industri pengolahan 3 juta unit, serta transportasi dan komunikasi 2,6 juta unit. Pada tahun 2006 sektor UMKM menyumbang 53,28% produk domestik bruto nasional, 15,44% dari total nilai ekspor, dan menyerap 37,96 juta tenaga kerja atau 46,91% dari total penyerapan tenaga kerja nasional (Kompas, Februari 2008). Saat krisis melanda negeri ini, sektor UMKM yang sebagain besar di wilayah informal mampu menjadi pengaman perekonomian nasional dengan menyediakan lapangan kerja dan output yang besar (Sri Adiningsih, 2008).

Jika peran perekonomian rakyat sangat strategis, mengapa tidak dipilih menjadi sistem ekonomi nasional untuk mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi Indonesia? Pertanyaan ini sungguh mengusik. Boleh jadi kita menduga pemikiran kapitalisme yang diartikan sempit dan globalisasi yang meminggirkan usaha ekonomi rakyat membuat keputusan strategis negeri ini bias terhadap cita cita pembangunan nasional dalam Undang-Undang Dasar bahwa perekonomian nasional hendaknya tersusun untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Jika perekonomian rakyat tidak mampu berkembang di tengah pemikiran sempit kapitalisme dan dominasi arus globalisasi, maka perekonomian rakyat harus mampu membangun sistem baru yang memungkinkan ekonomi rakyat dapat tumbuh subur. Sistem yang dibangun dari institusi, kebijakan, dan konsep yang pro-rakyat miskin.

Bonsai Dalam Pot

Perekonomian rakyat di negeri ini seperti pohon bonsai, indah dalam cita cita namun tidak berakar kuat dalam praktik berekonomi. Tidak ada yang salah dalam konsep perekonomian rakyat. Layaknya pohon bonsai yang berasal dari bibit terpilih dari pohon tertinggi di hutan, namun dikembangkan dalam pot yang terbatas, akan tumbuh kecil dan tidak berkembang. Maka bukan bibit bonsainya yang salah, tapi pot tempat pohon bonsai tumbuh yang membuat pohon bonsai tidak berkembang pesat.

"Pot" adalah institusi yang kita kembangkan, kebijakan yang kita ambil, dan konsep yang kita pakai dalam membangun perekonomian kita. "Pot" begitu kikir untuk memberikan ruang bagi tumbuhnya pohon perekonomian rakyat, meski tidak kurang dukungan institusi dalam pengembangan UMKM, mulai dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Bank Indonesia bekerja untuk pertumbuhan usaha kecil dan menengah sesuai dengan wewenang masing masing. Belum lagi berbagai institusi yang dibangun oleh masyarakat sendiri dalam bentuk LSM dan asosiasi permberdayaan usaha kecil tidak kurang memberikan berbagai program untuk tumbuhnya usaha kecil dan menengah.

Berbagai kebijakan, seperti kewajiban penyisihan dana keuntungan BUMN 1% - 5% untuk pembinaan usaha kecil dan koperasi (SK Menkeu), berbagai aturan dari BI untuk penyaluran kredit bagi usaha kecil dan menengah, serta puluhan program penguatan usaha kecil, ternyata tidak menawarkan solusi yang cukup kuat untuk mengarusutamakan perekonomian rakyat. Bahkan berbagai kebijakan itu malah menimbulkan isu negatif, seperti politisasi UMKM, khususnya koperasi; tidak jelas dan optimalnya penyaluran dana JPS; dan tidak efektifnya penyisihan dana BUMN. Hingga kebijakan yang diambil pun terkesan tidak sistemik dan tambal sulam.

Di sisi yang lain, perekonomian rakyat yang terdiri atas usaha ekonomi berskala mikro, kecil, dan menengah baik dikelola orang perseorangan maupun koperasi mengalami berbagai kendala. Data BPS (1999) misalnya menyebut permodalan, bahan baku, dan pemasaran menjadi masalah pokok yang dihadapi usaha skala mikro, basis perekonomian kerakyatan kita (Bambang Ismawan, Jurnal Ekonomi Kerakyatan, 2003).

Ironis memang. Di satu sisi berlimpahnya institusi, kebijakan, dan konsep yang dikembangkan untuk mengatasi masalah permodalan, pasokan bahan baku, dan pemasaran, namun semua itu berakhir tidak optimal. Semua ini disebabkan oleh sistem keliru yang diambil, tempat segala inisiatif itu bekerja.

Sistem keliru yang dimaksud adalah inistitusi yang dibangun masih merefleksikan bangunan hubungan perekonomian yang tidak mendorong produktifitas ekonomi kerakyatan, bias usaha besar dan mendasarkan diri pada konsep pro pemilik modal besar. Lihatlah, misalnya berbagai kebijakan UMKM yang seringkali merupakan koreksi dari kebijakan lain yang merugikan usaha ekonomi rakyat, seperti dicabutnya berbagai subsidi dan proteksi pajak yang melambungnya biaya produksi dan konsumsi rakyat serta memukul proses produksi yang memang sudah terpuruk.

Belajar Dari Grameen Bank

Merujuk pengalaman sukses Muhammad Yunus dalam mengembangkan model Grameen Bank dan usaha ekonomi rakyat di Bangladesh, ada tiga prinsip umum (David Bornstien, 1996) yang berlaku universal dalam membangun sistem alternatif yang cocok bagi usaha ekonomi rakyat. Pertama, identifikasikan solusi-solusi alternatif untuk permasalahan sosial yang kompleks. Kedua, membangun institusi sebagai wahana implementasi solusi. Ketiga, mengimplementasikan solusi dengan orientasi komersial dan cost effective.

Yunus melihat permodalan merupakan problem utama usaha ekonomi rakyat Bangladesh. Dia pun memberikan solusi kredit. Bukan sekadar kredit yang bersumber dari bantuan pemerintah dari sisa keuntungan BUMN, atau kredit yang berasal dari kebijakan pemerintah kepada bank, melainkan kredit yang diakumulasikan dari tabungan orang miskin sendiri. Benar pada awal tahap perkembanganya kredit yang diberikan Yunus berasal dari sistem perbankan. Namun, selanjutnya dia melakukan perubahan besar melalui pendirian institusi dan kebijakan yang sama sekali terpisah dari sistem keuangan yang berjalan.
Pendirian Grameen Bank, yang dimiliki orang miskin, mendorong aktivitas utama bank untuk kesejahteran orang miskin. Dari sini, usaha ekonomi rakyat tumbuh satu per satu. Mulai dari perikanan, pertanian, garmen (Grameen Check), dan telepon (Grameen Phone). Inilah inisiatif yang dibangun dengan sistem berbeda akan menumbuhkan secara cepat ekonomi rakyat.

Kini model Grameen Bank direplikasi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, negara besar dengan tingkat kemiskinan yang sama mengerikannya dengan kemiskinan di dunia ketiga, seperti Indonesia.

Membangun Perekonomian Rakyat

Kini yang dibutuhkan Indonesia adalah usaha membangun sistem baru yang cocok dengan perekonomian rakyat. Sistem yang dilandasi asas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat (Mubyarto, Jurnal Ekonomi, 2002).

Tantangan ke depan adalah bagaimana prinsip tersebut menjadi landasan bangunan institusi perekonomian kita, menginspirasi berbagai kebijakan ekonomi, dan menjadi konsep pembangunan. Langkah awal dapat dilakukan dengan membangun insititusi permodalan dan mekanisme pemasaran yang pro usaha rakyat. Insititusi permodalan bagi orang miskin tidak dapat dibangun atas mekanisme yang bekerja saat ini. Sebab, struktur perbankan yang dikembangkan memang tidak ditujukan untuk menumbuhkan usaha kecil dan menengah, apalagi usaha mikro. Juga tidak dapat dilakukan dengan inisiatif permodalan UMKM berdasarkan proyek, karena berjangka pendek dan tidak mengarah pada pembentukan sistem baru.
Inisitiaf permodalan usaha kecil hendaknya dimulai dari usaha rakyat sendiri. Secara mandiri membangun modal dari pendapatan mereka yang kecil dan dikumpulkan secara bersama. Berbagai contoh usaha koperasi kredit di beberapa kota di Jawa dan Kalimantan Barat dapat menambah keyakinan bahwa ide membangun struktur institusi permodalan dari usaha ekonomi rakyat sendiri bukanlah utopia.

Dalam halnya pemasaran yang pro usaha rakyat, ide bahwa proses produksi mulai dari pasokan bahan baku, kebutuhan alat-alat produksi, dan penjualan hasil produksi yang dikelola oleh usaha rakyat juga bukan tidak mungkin. Usaha susu di India merupakan contoh nyata. Jutaan peternak sapi di sana menghasilkan ¼ produksi susu dunia. Mereka mengelola susu di pabrik yang mesinnya dibuat sendiri dan dijual menjadi berbagai susu olahan di negeri yang 80% penduduknya miskin.

Indonesia dapat melakukan usaha seperti itu. Kita memiliki kemampuan untuk itu. Kenyataan di sekitar harus membuat kita berani mengambil keputusan bahwa cara menyusun perekonomian salah arah dan membuat jutaan orang miskin semakin terpuruk. Untuk mengubah kondisi itu, kita harus berani mengganti cara-cara berekonomi hingga kemiskinan menjadi barang langka dan anak anak kita tidak perlu belajar beratnya menjadi orang miskin. (Erwin Novianto, praktisi pembangunan, S2 lulusan Ateneo De Manila University untuk jurusan pembangunan sosial)