Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Revrisond Baswir berpendapat, saat ini belum dirasa perlu diterbitkan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang mengatur lembaga keuangan bukan bank yang saat ini beroperasi di tengah masyarakat kecil. Daripada membuat peraturan tentang LKM, pemerintah saat ini justru dianjurkan membuat langkah yang lebih strategis, yaitu menata dunia perbankan untuk memberikan kredit bagi usaha ekonomi lemah.
Revrisond menyampaikan itu dalam seminar "Mengkritisi Rancangan Undang-Undang Nomor XXX Tahun 2001 tentang Keuangan Mikro" yang diadakan Rabu (13/2) oleh Jaringan Kemitraan LSM Pengembangan Masyarakat, di Solo. Dalam seminar yang dihadiri oleh 48 LSM di Jawa Tengah, tampil narasumber Widayati dari Direktorat Pengawasan BPR dan Oei Hoei Tiong dari Direktorat Hukum Bank Indonesia (BI).
Widayati mengungkapkan, draft Rancangan Undang-Undang (RUU) LKM itu saat ini selesai disusun oleh Tim Inisiatif-terdiri dari BI, Depkeu, Depdagri, Deptan, Sekkab-dan telah diserahkan ke Menteri Keuangan, sebelum dimintakan persetujuan ke DPR. RUU itu disusun, karena di luar perbankan sekarang ini terdapat banyak LKM yang beroperasi di tengah masyarakat, sehingga diperlukan aturan-aturan.
"RUU itu bukan dimaksud untuk mempersulit kegiatan LKM, tetapi agar LKM bisa berjalan dengan prinsip kehati-hatian. Pemerintah juga melihat banyak LKM tak bisa berkembang dan kualitasnya tak meningkat," ujarnya. Ditambahkan, melalui UU LKM pemerintah hendak melindungi para deposan dan penabung kecil, sehingga masyarakat tidak ragu-ragu akan segi keamanannya.
Para peserta dari LSM umumnya menyuarakan penolakan mereka terhadap RUU LKM. Menurut mereka, selama ini tidak pernah ada masalah dalam pelaksanaan LKM. Mereka menganggap bahwa RUU tersebut bertentangan dengan asas demokrasi, dan justru akan memberi peluang timbulnya rentenir.
Ada yang mengkhawatirkan, bila LKM diberikan regulasi justru akan membuka peluang terjadinya KKN; di samping menjadikannya sebagai obyek pajak baru. Kalaupun harus diatur, cukup dilakukan oleh pemerintah daerah setempat dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
"Pelarian"
Revrisond Baswir memaparkan, sampai sekarang pemerintah tidak memiliki grand design menyangkut pengelolaan keuangan secara nasional. UU tentang keuangan negara belum pernah dibuat, bahkan UU tentang Bank Sentral pun sampai hari ini belum final. Ia khawatir, RUU LKM dibuat hanya sebagai "pelarian", mengingat banyak persoalan besar menyangkut dunia perbankan nasional sampai sekarang belum juga terpecahkan.
Ia menilai, RUU LKM tidak disusun secara komprehensif karena mengabaikan faktor-faktor yang antara lain tengah dihadapi oleh dunia perbankan nasional. "Yang sudah penuh peraturan saja (UU Perbankan-Red) terbukti tak bisa diatur. Lalu, apa tujuan membuat UU LKM? Jadi, menurut saya RUU itu tidak urgent, tidak prioritas," katanya.
Revrisond juga mempersoalkan istilah "keuangan mikro" karena mengalami pemaknaan yang salah kaprah. Istilah itu dicomot dari micro finance secara tidak tepat bila diterapkan di sini, seperti juga pengertian "rakyat" dalam ekonomi rakyat. "RUU itu menurut saya sama sekali tidak berbicara soal demokratisasi ekonomi di sini," ujarnya.
Sebaliknya ia menyarankan, hendaknya BI dan Departemen Keuangan justru mendorong masyarakat dan pemerintah daerah untuk menata keuangan daerah masing-masing. Melalui strategi itu, justru akan terjadi proses learning (pembelajaran) dari bawah.
"Dahulu, BI memiliki dana sekitar Rp 9 trilyun untuk membina usaha kecil. Tetapi, karena sekarang BI tak boleh lagi secara langsung, BI seharusnya melakukan pembinaan kepada bank-bank dan mendorongnya agar lebih memberi porsi kredit bagi usaha kecil. Itu yang lebih mendesak daripada menerbitkan UU yang mengatur LKM," tegasnya.
Pengajar di Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta ini menolak alasan bahwa bank tak punya dana, karena dana kredit yang dipending di perbankan saat ini mencapai Rp 230 trilyun, yang separuhnya tersimpan di BI. Ia mempertanyakan, dari dana kredit tersebut berapa yang dialokasikan untuk usaha ekonomi rakyat.
Menanggapi tentang skim-skim kredit untuk usaha ekonomi rakyat yang dilaksanakan melalui dunia perbankan termasuk Badan Perkreditan Rakyat (BPR) yang kurang berjalan, Revrisond berpendapat, itu karena Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan suku bunga 16-17 persen membuat banyak bank lebih memilih membeli SBI.
Ia mengutip pernyataan Achyar Ilyas, Deputi Gubernur BI, yang menyatakan bahwa bunga SBI sebesar 16-17 persen masih dinilai terlalu rendah oleh IMF. "Saya khawatir, pembuatan RUU LKM itu merupakan bagian dari paket IMF," ujarnya. (Kompas, 14 Januari 2010)
Revrisond menyampaikan itu dalam seminar "Mengkritisi Rancangan Undang-Undang Nomor XXX Tahun 2001 tentang Keuangan Mikro" yang diadakan Rabu (13/2) oleh Jaringan Kemitraan LSM Pengembangan Masyarakat, di Solo. Dalam seminar yang dihadiri oleh 48 LSM di Jawa Tengah, tampil narasumber Widayati dari Direktorat Pengawasan BPR dan Oei Hoei Tiong dari Direktorat Hukum Bank Indonesia (BI).
Widayati mengungkapkan, draft Rancangan Undang-Undang (RUU) LKM itu saat ini selesai disusun oleh Tim Inisiatif-terdiri dari BI, Depkeu, Depdagri, Deptan, Sekkab-dan telah diserahkan ke Menteri Keuangan, sebelum dimintakan persetujuan ke DPR. RUU itu disusun, karena di luar perbankan sekarang ini terdapat banyak LKM yang beroperasi di tengah masyarakat, sehingga diperlukan aturan-aturan.
"RUU itu bukan dimaksud untuk mempersulit kegiatan LKM, tetapi agar LKM bisa berjalan dengan prinsip kehati-hatian. Pemerintah juga melihat banyak LKM tak bisa berkembang dan kualitasnya tak meningkat," ujarnya. Ditambahkan, melalui UU LKM pemerintah hendak melindungi para deposan dan penabung kecil, sehingga masyarakat tidak ragu-ragu akan segi keamanannya.
Para peserta dari LSM umumnya menyuarakan penolakan mereka terhadap RUU LKM. Menurut mereka, selama ini tidak pernah ada masalah dalam pelaksanaan LKM. Mereka menganggap bahwa RUU tersebut bertentangan dengan asas demokrasi, dan justru akan memberi peluang timbulnya rentenir.
Ada yang mengkhawatirkan, bila LKM diberikan regulasi justru akan membuka peluang terjadinya KKN; di samping menjadikannya sebagai obyek pajak baru. Kalaupun harus diatur, cukup dilakukan oleh pemerintah daerah setempat dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
"Pelarian"
Revrisond Baswir memaparkan, sampai sekarang pemerintah tidak memiliki grand design menyangkut pengelolaan keuangan secara nasional. UU tentang keuangan negara belum pernah dibuat, bahkan UU tentang Bank Sentral pun sampai hari ini belum final. Ia khawatir, RUU LKM dibuat hanya sebagai "pelarian", mengingat banyak persoalan besar menyangkut dunia perbankan nasional sampai sekarang belum juga terpecahkan.
Ia menilai, RUU LKM tidak disusun secara komprehensif karena mengabaikan faktor-faktor yang antara lain tengah dihadapi oleh dunia perbankan nasional. "Yang sudah penuh peraturan saja (UU Perbankan-Red) terbukti tak bisa diatur. Lalu, apa tujuan membuat UU LKM? Jadi, menurut saya RUU itu tidak urgent, tidak prioritas," katanya.
Revrisond juga mempersoalkan istilah "keuangan mikro" karena mengalami pemaknaan yang salah kaprah. Istilah itu dicomot dari micro finance secara tidak tepat bila diterapkan di sini, seperti juga pengertian "rakyat" dalam ekonomi rakyat. "RUU itu menurut saya sama sekali tidak berbicara soal demokratisasi ekonomi di sini," ujarnya.
Sebaliknya ia menyarankan, hendaknya BI dan Departemen Keuangan justru mendorong masyarakat dan pemerintah daerah untuk menata keuangan daerah masing-masing. Melalui strategi itu, justru akan terjadi proses learning (pembelajaran) dari bawah.
"Dahulu, BI memiliki dana sekitar Rp 9 trilyun untuk membina usaha kecil. Tetapi, karena sekarang BI tak boleh lagi secara langsung, BI seharusnya melakukan pembinaan kepada bank-bank dan mendorongnya agar lebih memberi porsi kredit bagi usaha kecil. Itu yang lebih mendesak daripada menerbitkan UU yang mengatur LKM," tegasnya.
Pengajar di Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta ini menolak alasan bahwa bank tak punya dana, karena dana kredit yang dipending di perbankan saat ini mencapai Rp 230 trilyun, yang separuhnya tersimpan di BI. Ia mempertanyakan, dari dana kredit tersebut berapa yang dialokasikan untuk usaha ekonomi rakyat.
Menanggapi tentang skim-skim kredit untuk usaha ekonomi rakyat yang dilaksanakan melalui dunia perbankan termasuk Badan Perkreditan Rakyat (BPR) yang kurang berjalan, Revrisond berpendapat, itu karena Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan suku bunga 16-17 persen membuat banyak bank lebih memilih membeli SBI.
Ia mengutip pernyataan Achyar Ilyas, Deputi Gubernur BI, yang menyatakan bahwa bunga SBI sebesar 16-17 persen masih dinilai terlalu rendah oleh IMF. "Saya khawatir, pembuatan RUU LKM itu merupakan bagian dari paket IMF," ujarnya. (Kompas, 14 Januari 2010)