Cara berpikir yang keliru telah memicu terjadinya kemiskinan di wilayah-wilayah pedalaman Kalimantan Barat. Dengan mengubah cara berpikir, masyarakat bisa keluar sendiri dari kubangan kemiskinan. Munaldus (47) merasakan betul bagaimana cara berpikir yang keliru itu telah membenamkan masyarakat kampungnya di jurang kemiskinan yang amat dalam.
”Ketika masih kecil, kami baru bisa bersekolah setelah sore hari. Pagi hingga siang kami harus membantu orangtua menyadap karet supaya kami yang sembilan bersaudara itu bisa sekolah dan makan,” kata Munaldus, salah seorang perintis Credit Union Pancur Kasih dan Credit Union Keling Kumang, Kalimantan Barat, itu.
Tahun 1970-an, kondisi Kampung Tapang Sambas, Desa Tapang Semaduk, Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, tempat Munaldus lahir dan dibesarkan, sangat memprihatinkan.
”Perekonomian masyarakat tidak bisa maju karena infrastruktur jalan sangat buruk. Warga tidak memiliki daya tawar di depan penampung karet,” kata Munaldus.
Pada zaman itu, kebanyakan masyarakat Tapang Semaduk lebih memilih barter getah karet dengan bahan makanan. Pasalnya, penampung getah karet selalu mengatakan, persediaan uang sedikit karena jalan rusak dan sudah dibelanjakan untuk bahan makanan. Jika tetap ingin mendapatkan uang, harga karet jauh lebih rendah. Uang yang didapat pun hanya cukup untuk makan. Pendidikan lalu tidak menjadi prioritas.
Beruntung, Munaldus dan saudara-saudaranya dididik orangtua mereka untuk tak cepat menyerah. ”Kami tetap bersekolah semampu kami, apa pun caranya,” katanya. Setelah lulus SD, Munaldus meneruskan ke SMP di ibu kota kecamatan yang berjarak 30 kilometer dengan waktu tempuh enam jam berjalan kaki.
”Saya tinggal di asrama. Kalau terlambat membayar uang asrama, tidak akan mendapat jatah makan sehingga sering saya izin empat hari untuk pulang, bekerja menyadap getah,” ujarnya.
”Credit union”
Lulus SMA I Sintang, Munaldus melanjutkan kuliah di Program Studi Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura, Pontianak. Setelah lulus dan menjadi sarjana pertama di Kampung Tapang Sambas, ia mengajar di sebuah SMA, sebelum diangkat menjadi dosen di Universitas Tanjungpura.
”Tahun 1984 setelah lulus kuliah, saya mendapat informasi mengenai lembaga keuangan bernama credit union atau koperasi kredit. Kami lalu membentuk Credit Union Khatulistiwa Bhakti sebagai laboratorium belajar lembaga keuangan,” katanya.
Tahun 1987 Munaldus turut merintis mendirikan Credit Union Pancur Kasih. Setelah matang dengan konsep berlembaga di Pancur Kasih, ia dan dua saudara kandung serta empat orang lain mendirikan Credit Union Keling Kumang, khusus untuk warga Kampung Tapang Sambas dan Tapang Kembayan. Pertimbangannya, warga kampung yang miskin mestinya bisa berdaya jika mendapat kesempatan mengubah pola pikir.
Credit union adalah lembaga keuangan yang mengutamakan watak anggotanya. Keling Kumang pun didirikan dengan modal kepercayaan antaranggota. Prinsipnya, dana ”dari-oleh-dan untuk” anggota.
”Waktu didirikan ada 26 anggota CU Keling Kumang dengan modal awal Rp 260.000,” kata Munaldus. Awalnya lembaga itu memprioritaskan pinjaman untuk pendidikan. ”Kami yakin hanya dengan pendidikan yang tinggi, kami akan diperhitungkan,” ujarnya.
Gairah sekolah
Dalam waktu kurang dari setahun, Keling Kumang menjadi bahan pembicaraan masyarakat pedalaman di Sekadau karena hampir semua warga dua kampung itu menjadi anggota dan mendapatkan kemudahan meminjam. Dampak perubahan pola pikir itu, menurut Munaldus, luar biasa.
Banyak warga yang bergairah menyekolahkan anak-anaknya. Mereka juga mengembangkan sektor-sektor produktif untuk menopang ekonomi keluarga.
”Kami terus menanamkan prinsip yang harus dipegang anggota, yakni pendidikan, swadaya, dan solidaritas,” kata Munaldus.
Jumlah anggota Keling Kumang makin banyak karena bunga pinjaman relatif kecil, yakni 2 persen menurun atau rata-rata 13 persen per tahun. Untuk pinjaman pendidikan bahkan hanya 1 persen menurun. Adapun bunga tabungan, mulai dari 3 persen hingga 10 persen per tahun.
Anggota juga makin banyak karena ada produk simpanan untuk bantuan kesehatan. Tahun ini, anggota CU Keling Kumang tercatat sebanyak 91.100 orang. Sebagian dari mereka tersebar di lima kabupaten pedalaman Kalimantan Barat, yakni Sekadau, Sanggau, Sintang, Melawi, dan Kapuas Hulu. Dana yang terkumpul mencapai Rp 435 miliar dan sebagian besar terdistribusi untuk pinjaman pendidikan dan keperluan produktif.
Di kampung asal CU Keling Kumang itu lahir, sebagian besar anak-anak mengenyam pendidikan hingga lulus sarjana. Generasi inilah yang lalu menggerakkan sektor-sektor produktif dan membuat perkampungan lebih hidup dari sisi ekonomi. Keberhasilan itu, kata Munaldus, tak lepas dari budaya menabung di koperasi kredit.
”Membiasakan budaya menabung itu dampaknya dahsyat. Saudara-saudara sekampung yang dulu hidup miskin, kini hidupnya relatif lebih sejahtera karena biasa menabung. Mereka setiap saat bisa menarik pinjaman untuk keperluan sekolah atau keperluan produktif lainnya,” kata Munaldus.
Untuk memudahkan orangtua yang hendak mengirimkan uang ke Kota Pontianak bagi anak-anaknya yang sedang menempuh pendidikan, CU Keling Kumang memelopori cara pengiriman yang cepat.
”Kalau harus membawa uang itu ke Pontianak, waktunya bisa setengah hari dan ongkosnya mahal. Mereka hanya perlu membawa uang ke kantor pelayanan di kampung, dan lima menit kemudian anaknya bisa mencairkan di tempat pelayanan di Kota Pontianak,” kata Munaldus.
Pertengahan Juli lalu, CU Keling Kumang mendapat penghargaan dari Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah sebagai koperasi terbaik dalam sektor simpan-pinjam.
”Ini menjadi bukti bahwa kalangan warga tidak mampu tetap bisa berdaya kalau bersatu dan saling tolong-menolong,” ujar Munaldus.
Untuk tetap menjaga kepercayaan itu, CU Keling Kumang melarang para pengurusnya menjadi pengurus partai politik. Munaldus pun seirama, dia menolak semua tawaran untuk terlibat politik praktis. (Kompas, 18 Agustus 2010)