RUU LKM Dinilai Lemahkan Gerakan Koperasi

Rancangan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro (RUU LKM) yang kini sedang digodok Badan Legislasi (Banleg) DPR RI dinilai melemahkan gerakan koperasi di Indonesia. Bahkan RUU yang merupakan hak inisiatif DPR tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

“Karena itu, perlu dikritisi secara mendasar. Penyusun naskah akademik RUU LKM yang sudah masuk ke DPR itu sangat tidak memahami koperasi dan tidak mustahil bertujuan melemahkan gerakan koperasi di Indonesia," ungkap Ketua II Perhimpunan BMT (Baitul Maal Wattamwil) Indonesia atau dikenal dengan nama BMT Center, Awalil Rizky, Selasa (16/11) di Jakarta.

Sebetnya, bila tidak dicermati, dengan melakukan kajian kritis terhadap Naskah Akademik (NA) maka RUU LKM tersebut, bisa menyesatkan anggota DPR. Terutama karena dua hal yakni Pertama, secara filosofis dan yuridis menggugat langsung UUD 1945 khususnya Pasal 33 dan UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Dan Kedua, ketidakakuratan data mengenai bagaimana LKM beroperasi saat ini.

Berkenaan dengan penyesatan pertama, lanjutnya, tergambat secara jelas oleh uraian dalam NA RUU LKM tersebut yang menganggap bahwa badan hukum koperasi tidak selalu sesuai dengan karakter kebutuhan usaha mikro, atau masyarakat miskin, atau berpenghasilan rendah pada umumnya, karena ada persyaratan anggota yang dianggap sebagai penghambat.

“Inikan tidak sesuai dengan prinsip ekonomi negara kita yang semestinya justru berasas koperasi. Dan realitanya juga LKM yang berbadan hukum koperasi dan dikelola dengan manajemen baik, hasilnya sangat baik," urai Dr Aji Dedi Mulawarman MSA, peneliti Pusat Kajian dan Bisnis Islam Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, yang turut dalam tim kajian BMT Center terhadap RUU LKM ini.

Awalil juga menjelaskan, bahwa BMT Center sebenarnya menyambut baik bila adanya UU LKM yang mengatur lebih jelas mengenai keberadaan lembaga keuangan mikro, baik LKM konvensional maupun LKM syariah. Karena dengan UU itu, maka LKM akan memiliki posisi yang kuat dan dapat berperan lebih besar dalam pemberdayaan masyarakat miskin di pedesaan.

Namun, UU LKM yang dimaksud tentunya tidak untuk melemahkan gerakan koperasi dan tidak pula mensahkan badan hukum LKM berbentuk perseoran terbatas (PT) atau perkumpulan seperti yang disebut dalam NA RUU LKM tersebut.

"Bila LKM dimiliki oleh hanya seseorang, atau perusahaan yang dimiliki oleh orang-orang tertentu, atau perkumpulan tertentu, bisa jadi UU LKM akan melegalisasi praktik rentenir atau digunakan untuk kepentingan orang tertentu dan kelompok tertentu karena disitu tidak lagi melibatkan anggota atau nasabahnya sebagai pemilik LKM itu sendiri,"paparnya.

Padahal, ucapnya, dalam badan hukum koperasi, jelas bahwa nasabah adalah pemilik dari LKM itu sendiri, karena dia menjadi anggota yang juga "pemegang saham" -nya. Karena itu, BMT Center menyampaikan hasil kajian kritisnya kepada fraksi-fraksi di DPR. Senin (15/11) lalu.

Tim Kajian BMT Center yang terdiri dari Awalil Rizky, Eri Sudewo, dan Aji Dedi Mulawarman jgua sudah beraudiensi dengan Fraksi PKS DPR yang diterima oleh sejumlah anggota fraksi dan tim ahli dari FPKS. Sementara penyampaian kepada fraksi-fraksi DPR lainnya sedang menunggu jadwal untuk pertemuan dengan para wakil rakyat tersebut.

BMT Center adalah asosiasi lembaga keuangan mikro syariah (LKMS/BMT) yang memayungi 150 BMT dengan total aset Rp 2,6 Triliun. Asosiasi ini sangat berkepentingan dengan UU LKM tersebut, karena itu mereka berkeinginan adanya aturan main yang lebih jelas dan rinci sehingga memudahkan operasional BMT.

“Kepastian hukum akan menguntungkan semua pihak, terutama rakyat kecil," tutur Dedi.

RUU LKM seharusnya didasari empat hal utama. Yakni Pertama, RUU LKM harus disusun atas dasar pemahaman yang tepat mengenai bagaimana beroperasinya LKM saat ini. RUU harus menegaskan dan melegitimasi apa-apa yang baik dan bermanfaat buat rakyat banyak dan mengeliminasi hal-hal buruk.

Kedua, RUU itu tetap dilandasi UUD 1945 khususnya pasal-pasal tentang perekonomian. Ketiga, RUU itu benar-benar bertujuan dan bermaterikan perlindungan kepada usaha mikro, bukannya member kesempatan kepada para pemilik modal besar untuk memperkuat dominasinya. Dan terakhir RUU itu harus visioner, bisa mengantisipasi perkembangan perekonomian di masa mendatang, khususnya yang terkait dengan LKM dan usaha mikro.

Bila RUU LKM yang disetujui DPR nanti adalah berdasarkan NA RUU LKM yang ada dan tidak ada perubahan mendasar BMT Center akan menolaknya.

"Jika ditetapkan tanpa perubahan berarti, maka akan diajukan judicial review terkait semangat anti UUD 1945 dan pertentangannya dengan UU Koperasi," tegas Awalil yang juga menjabat Direktur Eksekutif Bright Indonesia.

Di mata BMT Center, sebenarnya melakukan perubahan terhadap NA RUU LKM tersebut sangat mudah bila para anggota Dewan memiliki semangat mengusuk ekonomi yang sesuai dengan UUD 1945 dan koperasi. Yaitu, dengan mengubah pasal-pasal tersebut dengan asumsi dasar bahwa RUU LKM sebenarnya adalah Koperasi Simpan Pinjam. Dan sudah seharusnya hanya koperasi yang dapat menjadi LKM.

Sebagai tambahan, ada dua Peraturan Menteri tentang koperasi yang sudah operasional dan merupakan penjabaran lebih rinci dari UU Perkoperasian, khusus yang terkait dengan usaha simpan pinjam. Ada Peraturan Menteri Nomor 14/Per/M.KUKM/VII/2006 tentang Petunjuk Teknis Dana Penjaminan Kredit Dan Pembiayaan Untuk Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Ada pula Peraturan Menteri Nomor 06/Per/M.KUKMI/I/2007 tentang Petunjuk Teknis Program Pembiayaan Produktif Koperasi Dan Usaha Mikro (P3KUM) Pola Syariah.

BMT sendiri, jelas Awali, cenderung agar RUU LKM yang sedang dibuat saat ini "menaikkan" status kedua Peraturan Menteri itu sebagai Undang-Undang, dengan melakukan penyesuaian kaidah formalnya sebagai UU, serta ditambah dengan perbaikan atas evaluasi perkembangan mutakhir dan pertimbangan yang visioner tentang perekonomian nasional, khususnya industri keuangan. (www.detikriau.net)