'Perlawanan' Dari Desa

Per November 2010 total aset seluruh koperasi kredit atau credit union yang tergabung dalam Pusat Koperasi Kredit BK3D Sumatera Utara mencapai Rp 1 triliun. Ada lebih dari 250.000 orang tergabung menjadi anggota koperasi kredit di Sumut. Di antara mereka malah ada yang menyimpan uang lebih dari Rp 1 miliar di koperasi kredit.

Menjadi pertanyaan besar, mengapa koperasi kredit alias credit union (CU) yang notabene anggotanya mayoritas petani, kelompok masyarakat miskin di desa, memiliki aset hingga Rp 1 triliun. Selama 40 tahun, CU di Sumut menjadi gerakan perlawanan senyap dari masyarakat pedesaan terhadap sistem ekonomi kapitalistik, yang tak pernah bisa memberikan akses modal terhadap petani dan kelompok masyarakat miskin lainnya.

CU memberikan bukti bahwa solidaritas kaum miskin bisa memupuk modal secara bersama, dan konsisten melalui koperasi. ”Bahkan semiskin-miskinnya orang, punya sesuatu untuk disumbangkan”. Kalimat itu diulang berkali-kali oleh Pintaraja Marianus Sitanggang ketika bertutur tentang awal pendirian CU di Sumut. Mantan guru SMA Katolik Budi Mulia Pematang Siantar itu menjadi bidan bagi kelahiran CU di daerah tersebut.

CU mulai dikenal di Sumut sejak tahun 1970, sepulang Sitanggang dari Baguio City, Filipina. Dia ditugaskan Pengurus Pusat Persatuan Guru Katolik mengikuti seminar perburuhan di Filipina selama lima minggu, September - Oktober. Salah satu materi seminar saat itu mengenai CU.

Sepulang dari Filipina, Sitanggang membentuk CU di SMA Budi Mulia. Karena tak ada guru dan karyawan yang berminat menjadi anggota koperasi kredit, dia terpaksa memotong gaji mereka untuk menjadi simpanan wajib di CU. ”Karena saya ketua yayasan di sekolah itu, saya bisa potong saja gaji mereka,” katanya tergelak.

Dari Budi Mulia, Sitanggang mengajak guru dan karyawan SMA Cinta Rakyat bergabung. Inilah cikal bakal lahirnya CU Cinta Mulia Pematang Siantar, CU yang menjadi pionir di Sumut. Namanya Cinta Mulia itu gabungan dari Budi Mulia dan Cinta Rakyat.

Solidaritas

Solidaritas memang menjadi kata kunci di CU. CU menjadi koperasi dalam arti yang sebenarnya. Bukan koperasi yang dibentuk pemerintah, lalu pengurusnya ditunjuk oleh birokrat di mana koperasi itu berada. Pada prinsipnya, koperasi dibentuk karena ada sekelompok orang yang merasa senasib dan menyadari bersama bahwa nasib mereka harus diperbaiki. CU menjunjung tinggi prinsip tersebut.

”Kebersamaan di CU diwujudkan dengan menyimpan dan memberikan pinjaman kepada anggota yang dianggap paling memerlukan,” ujar Sitanggang. Namun, solidaritas atau kebersamaan tak bisa tumbuh dengan sendirinya. Apalagi di kalangan rakyat miskin pedesaan. Solidaritas harus tumbuh dari pendidikan.

Menyarankan petani bisa bersatu agar mendapatkan harga pupuk yang wajar adalah bagian dari pendidikannya, termasuk membangun solidaritas di antara mereka agar harga komoditas pertaniannya tak dipermainkan pasar.

Kelahiran CU di Sumut sedari awal menjadi bagian dari upaya pemberdayaan ekonomi rakyat Keuskupan Agung Medan. Gereja memfasilitasi ruangan kantor CU pada awal pendiriannya.

”Orang miskin itu kan makan saja susah. Tetapi, kalau setiap anggota keluarga miskin setiap hari menghemat pengeluaran berasnya masing-masing satu sendok untuk disimpan, dalam sebulan pasti ada banyak beras yang terkumpul di keluarga itu. Ini selalu saya katakan jika mengajak orang-orang di desa bergabung dengan CU,” kata Sitanggang. Sejak 1980, gereja lepas sama sekali dari perkembangan CU di Sumut.

Karena solidaritas bisa tumbuh dengan pendidikan, CU pun mengharuskan setiap anggotanya mengikuti pelatihan tentang pentingnya menggalang kebersamaan.

Di CU Satolop, Siborongborong, Tapanuli Utara, anggota CU membentuk berbagai kelompok. Seorang anggota baru boleh meminjam jika jaminan diberikan oleh anggota kelompoknya. Apabila nanti angsuran pinjamannya macet, anggota kelompok lainnya yang harus menanggung kredit macetnya tersebut.

Tak seperti bank, yang mengukur kepercayaan dari berapa banyak jaminan yang bisa diagunkan untuk pinjaman, di CU, kepercayaan mewujud dalam solidaritas di antara anggotanya. ”Kelebihannya, meminjam dari CU ini prosesnya tak berbelit,” ujar Poltak Pardosi, pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Serbajadi, Kabupaten Serdang Bedagai, yang sudah lima tahun menjadi anggota CU Seia Sekata, Dolok Masihul.

Gaji sebagai PNS rendahan di daerah membuat Poltak berpikir ulang untuk menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Namun, pinjaman dari CU membuat dia punya usaha sampingan sebagai peternak ayam potong. Tercatat sudah 10.000 ekor ayam potong yang dia ternakkan. Modalnya didapat dari CU.

Nilai pinjaman terakhir Poltak di CU Seia Sekata mencapai Rp 15 juta. Dia tercatat telah delapan kali meminjam di CU. ”Sekarang anak saya sudah ada yang kuliah di Akademi Kebidanan di Medan,” kata Poltak.

Sebagai koperasi, untuk bisa menyalurkan pinjaman kepada anggotanya, modal CU praktis hanya berasal dari anggota. CU mengenal setoran wajib yang dikenal sebagai simpanan saham.

Manajer CU Cinta Mulia, Robinson Bakara, menuturkan, simpanan saham merupakan ikatan konkret antara anggota dengan CU. Simpanan saham tidak boleh ditarik selama yang bersangkutan masih menjadi anggota. ”Jasa simpanan ini yang nantinya dibagi menjadi sisa hasil usaha,” katanya.

Selain simpanan saham, CU juga memiliki produk lainnya, yang dikenal sebagai simpanan nonsaham. ”Tabungan nonsaham ini untuk memperkuat permodalan koperasi. Karena berasal dari anggota, yang berhak menarik (meminjam) dari kumpulan modal ini, ya hanya anggota,” katanya.

Untuk menarik anggota CU menyimpan uangnya di simpanan nonsaham, suku bunga simpanan ditetapkan di atas rata-rata suku bunga simpanan perbankan, yakni 9 persen sampai 15 persen. Produk simpanan nonsaham yang dikenal di CU antara lain simpanan pendidikan, simpanan hari tua, dan simpanan hari raya. Simpanan hari raya bisa digunakan seperti tabungan ongkos naik haji. Simpanan pendidikan mirip produk tabungan berencana di perbankan, yang boleh diambil saat membutuhkan.

Simpanan

Ada juga simpanan nonsaham yang bisa diambil kapan pun, mirip produk tabungan di bank, namanya simpanan bunga harian. Di CU juga dikenal produk simpanan yang mirip deposito di bank. Karena CU merupakan koperasi, namanya juga mengikuti Undang-Undang Koperasi. ”Kami menyebutnya dengan nama sisuka, simpanan sukarela berjangka,” kata Robinson.

Dari berbagai produk simpanan itulah, modal CU tersalurkan dalam bentuk pinjaman ke anggotanya. ”Tak seperti di bank, meminjam di CU selain prosesnya mudah, kami juga fleksibel dalam mengembalikannya. Kalau masa cicilan masih tersisa setengah tahun lagi, tetapi bisa bayar pokoknya sekarang, CU memperbolehkannya tanpa kena penalti,” katanya.

Kelebihan lainnya, untuk soal pinjaman ini, bunganya menurun mengikuti sisa pokok utang. ”Besarnya hanya 2,5 persen dari sisa pokok pinjaman,” ujar Robinson.

Sejak road show Sitanggang ke berbagai daerah, sekarang Pusat Koperasi Kredit BK3D sebagai induk CU di Sumut mempunyai 61 CU yang tersebar dari Aek Kanopan di Labuhan Batu Utara hingga Pakkat di Humbang Hasundutan, dari Belawan di Medan hingga Pandan di Tapanuli Tengah.

Kementerian Koperasi yang tengah mencari koperasi dengan aset di atas Rp 10 miliar tak bakal kesulitan jika mereka mengenal CU di Sumut. Menteri Koperasi Syarifuddin Hasan saat berbicara di Mukernas Kosgoro, 13 Desember lalu, mengaku tengah mencari koperasi dengan aset minimal Rp 10 miliar dan omzet minimal Rp 50 miliar per tahun sebagai koperasi percontohan (www.rakyatmerdeka.co.id).

”Dari 61 CU di Sumut yang bernaung di bawah Puskopdit BK3D, ada sekitar 50 CU yang asetnya di atas Rp 10 miliar,” kata Robinson. CU beraset di atas Rp 10 miliar di antaranya adalah CU Mandiri di Tebing Tinggi yang memiliki aset terbesar se-Sumut sebesar Rp 120 miliar, CU Cinta Mulia Pematang Siantar Rp 78 miliar, CU Harapan Kita Belawan Rp 65 miliar, CU Pardomuan Pakkat Rp 55 miliar, CU Satolop Siborongborong Rp 40 miliar, CU Rukun Dame Medan Rp 30 miliar, CU Cinta Kasih Pulo Brayan Medan Rp 25 miliar.

Petani

Meski total CU di Sumut beraset Rp 1 triliun, mayoritas anggotanya, sekitar 80 persen, adalah petani. Itulah mengapa ketika harga komoditas pertanian anjlok, tetapi diiringi dengan melonjaknya harga sarana produksi, seperti pupuk, tak banyak petani yang berani mengambil pinjaman ke CU.

Di sisi lain, karena simpanan saham menjadi kewajiban anggota, ada dana menumpuk di CU yang berubah menjadi idle cash karena tak berputar menjadi pinjaman. Robinson yang juga menjabat Manajer Operasional di Puskopdit BK3D bersama dengan staf hukum Puskopdit, Binaris Situmorang, kemudian menggagas apa yang dinamakan Wira Koperasi (Wirakop) pada tahun 2006. Jika CU lebih merupakan koperasi simpan pinjam, Wirakop menjadi koperasi serba usaha. Wirakop menjadi supermarket bagi produk pertanian anggota CU, sekaligus menyediakan berbagai sarana produksi.

Mereka yang berbelanja di Wirakop hanya anggota CU. Keuntungan Wirakop kemudian dibagi juga menjadi SHU. Setiap berbelanja ke Wirakop, anggota diberi poin yang diakumulasikan pada akhir tahun menjadi nilai pembagi untuk SHU masing- masing anggota. Pada tahap awal, Wirakop baru berdiri di Siborongborong, Pandan, dan Samosir.

Jika CU di hampir semua kota di Sumut menjadi saingan perbankan yang menawarkan kredit mikro, Wirakop menjadi pesaing para tengkulak komoditas pertanian hingga distributor pupuk yang sering menekan petani. CU memberi pelajaran, bahkan petani miskin di pedesaan pun bisa melawan kekuatan modal besar, jika bersatu. (Kompas, 31 Desember 2010)