Tantangan Dan Peluang LKM Indonesia

Kemiskinan merupakan fenomena sosial, yang tidak saja terdapat di Indonesia atau di negara berkembang, melainkan juga terjadi di negara-negara maju yang mapan perekonomiannya.

Fenomena kemiskinan yang tersebar di berbagai negara dan belahan dunia inilah yang selanjutnya menjadi perhatian untuk dilakukan gerakan global tentang kemanusiaan (humanity), yang di dalamnya membahas mengenai kemiskinan di samping tentang pengangguran dan pengucilan sosial. Satu di antara gerakan global tersebut adalah terselenggaranya konferensi Program Aksi untuk Pembangunan Sosial (World Summit in Social Development) pada tahun 1995 di Copenhagen.

LKM sebagai lembaga keuangan alternatif bisa memainkan peran dan fungsi strategis, tidak saja pada permodalan bagi usaha keluarga miskin, tetapi lebih jauh pada peningkatan taraf kehidupannya.

Begitupun Indonesia, dalam setiap pemerintahannya menjadi kewajiban untuk melaksanakan pengentasan kemiskinan. Implementasi program selalu mengagendakan pembangunan masyarakat (baca-keluarga) untuk dapat keluar dari kemiskinan, yaitu melalui banyak sarana atau program pembangunan yang berkelanjutan—seperti di era Presiden Soeharto. Satu di antaranya adalah melalui sarana dan fasilitas pinjaman dalam bentuk kredit usaha kecil, mikro (micro credit) dan menengah di samping program-program pemberdayaan melalui sarana pangan, kesehatan, pemukiman, pendidikan dan keluarga berencana.

Seperti juga dalam program BIMAS/INMAS dengan Kredit Usaha Tani, juga Kredit Usaha Kecil dan Mikro yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, walaupun Kredit yang diperuntukkan bagi usaha kecil, mikro, dan koperasi itu memiliki persyaratan yang sama dengan persyaratan kredit dari bank pada umumnya, tetapi bunga yang diterapkan lebih rendah.

Kini tuntutan terhadap pemenuhan “permodalan” usaha (terutama usaha kecil dan mikro) kembali menguat dan menjadi perhatian pemerintahan sekarang, terlebih dalam kondisi terpuruknya perekonomian di sektor investasi “modal” portopolio, yaitu pada partisipasi dana asing ke Indonesia. Dengan fasilitasi kemudahan untuk memperoleh pinjaman keuangan, diharapkan tumbuh ”daya tahan” perekonomian masyarakat, yang sekaligus menjadi kekuatan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Dengan kemudahan memperoleh modal akan berdampak positif pada pertumbuhan usaha-usaha keluarga miskin yang mandiri, yang diikuti dengan peningkatan pendapatan sehingga taraf kehidupannya keluar dari tahapan kelompok pra sejahtera, sejahtera tingkat pertama dan sejahtera dalam BPS sebagai Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), Rumah Tangga Miskin (RTM), dan Rumah Tangga Hampir Miskin (RTHM). Terlebih bila mencermati krisis perekonomian global dan jumlah keluarga miskin Indonesia sebanyak 9,1 juta (BPS-2005), serta tingkat pengangguran di Indonesia yang masih mencapai 10,55 juta jiwa (BPS-2007) maka upaya pemenuhan modal usaha buat keluarga miskin menjadi lebih mendesak dibutuhkan.

Pada situasi, program pembangunan sosial yang menjadi tanggung jawab pemerintah serta pada kebutuhan pengembangan ekonomi keluarga miskin tersebut, di samping jumlah keluarga miskin yang masih besar, merupakan peluang bagi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) untuk aktif mengambil pilihan kerja dan peran sebagai institusi “alternatif” dalam penyediaan modal usaha bagi keluarga miskin atau kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan formal (bank dan BPR) karena lembaga formal telah berorientasi pasar, bisnis dan mengutamakan keuntungan sehingga menuntut jaminan serta prasyarat lain yang tidak dapat dipenuhi oleh kelompok usaha kecil dan mikro.

Pinjaman dalam bentuk kredit kecil dan mikro merupakan upaya yang tepat dalam menangani dan mengentaskan kemiskinan, mengingat kata kunci pemberdayaan keluarga miskin adalah menjadikannya sebagai wira usaha yang tangguh. Karena itu program subsidi keuangan dengan jenis pinjaman “mikro”, terutama buat masyarakat berkategori miskin tetapi memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor) dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (lower income), adalah insentif sekaligus stimulus hadirnya pelaku ekonomi kecil dan ekonomi mikro yang mandiri. Dengan kredit usaha kecil dan mikro kelak lahir dan berkembang pengusaha-pengusaha kecil diberbagai lapisan masyarakat (utama di pedesaan), yang kemudian bersinergi sebagai produktivitas nasional bersama pelaku ekonomi di sektor lainnya.

LKM sebagai lembaga keuangan alternatif bisa memainkan peran dan fungsi strategis, tidak saja pada permodalan bagi usaha keluarga miskin, tetapi lebih jauh pada peningkatan taraf kehidupannya searah dengan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan secara simultan dan berkelanjutan. Hal yang menguatkan peran strategis LKM adalah pada potensi LKM sebagai kelembagaan sosial telah mengakar bersama tradisi perekonomian yang ada di masyarakat. Di Nusantara keberadaan dan keberhasilannya dalam mengatasi kendala permodalan tercermati sejak tahun 1903, yang akhirnya setelah Indonesia Merdeka konsepsinya terwujud dalam lembaga keuangan formal yang ada saat ini.

Kini, dalam krisis perekonomian global, LKM harus tampil mengambil peran aktif untuk mendinamisasikan tumbuhberkembangnya perekonomian rakyat (grassroots) terutama perekonomian yang dilakukan oleh keluarga miskin. Lalu dengan berpijak pada pengalaman melayani dan mengelola usaha mikro, serta keberadaan UU Nomor 25 tahun 1992 dan UU Nomor 20 tahun 2008 tentang UKMK, Lembaga Keuangan Mikro dapat melakukan beberapa hal lain, yaitu melakukan motivasi kepada keluarga miskin dalam kebiasaan untuk ”menabung” dan berusaha bersama dalam kelompok. LKM dapat mengarahkan keluarga miskin untuk membentuk kelompok yang berbasis modal tabungan, yang selanjutnya membentuk ”koperasi” sebagai usaha bersama atau menjadi anggotanya.

Pada sisi lain, LKM dengan jaringan yang ada membangun kesadaran dalam penerapan sistem keuangan ”tanggung renteng” sehingga seluruh dinamika yang ada dalam kelompok menjadi tanggung jawab bersama. Dalam hal ini memang LKM mesti mengambil tanggung jawab pada penguatan manajemen kelompok, koperasi atau LKM lainnya sebagai bagian dari jaringan kerja sama dalam dan antar kelompok. Termasuk mengintegrasikan kelompok yang ada dengan lembaga keuangan formal, seperti pada BRI dan Bukopin untuk secara bersama membentuk pilar bersama Sistem Keuangan Mikro Nasional dengan tujuan utama adalah peningkatan efesiensi dan daya saing ”produksi” nasional.

Sinergisitas antara LKM, kelompok usaha keluarga miskin dan lembaga keuangan formal tersebut sekaligus sebagai upaya menciptakan jaminan harga dan pasar bagi produk masyarakat, terutama produksi keluarga miskin –prioritas melalui koperasi. Langkah lebih subtansial, LKM bersama satu atau lebih perusahaan negara dapat berintegrasi sebagai ”trading house” dan menjadi pondasi dari Sistem Distribusi Nasional. Di sinilah peluang yang terbuka bagi LKM dalam memaknai tuntutan dan wujud ”nasionalisme ” dalam pemberdayaan produksi dalam negeri dan penciptaan pasar domestik sebagai upaya berkembangnya perekonomian keluarga miskin Indonesia mendatang. (Gemari, Edisi 95/Tahun IX/Desember 2008)