Menyampaikan bantuan bagi korban bencana tidak identik dengan sekadar menerima. Mantan Direktur Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Caritas Keuskupan Padang Pastor Agustinus Mujihartono, Pr juga memberdayakan korban bencana agar mampu mandiri.
Bersama anggota timnya, dia membentuk kelompok-kelompok masyarakat. Kelompok-kelompok masyarakat ini yang selanjutnya akan mengerjakan berbagai program bantuan.
”Karena asalnya dari kata pengembangan, yang pertama dibangun adalah komunitasnya. Kalau komunitas sudah dibangun, apa pun akan menjadi lebih mudah,” kata Romo Agus, sapaan akrabnya.
Dia mengusahakan pemberdayaan masyarakat dalam menyalurkan bantuan bagi korban bencana. Agus berpandangan, jika masyarakat dilibatkan dalam pembangunan, mereka akan mempunyai rasa kebanggaan.
Pada gilirannya, masyarakat juga akan ikut menjaga bantuan yang sudah diberikan. Agus mengakui, hal ini relatif sulit dilaksanakan mengingat korban bencana tersebut biasanya telah berada dalam kondisi lemah.
Meski demikian, pertemuan tetap harus dilakukan untuk mengawali prosesnya. Evaluasi dengan penyusunan rencana lanjutan juga dilakukan untuk menjamin keberlanjutan upaya pertolongan. ”Kami juga ikut mengawasi kualitas material, pembangunan, dan penggunaannya,” ujar Romo Agus.
Bersama lembaga yang sempat dipimpinnya, Agus telah mewujudkan rumah-rumah bantuan bagi korban gempa di Bukitinggi, Sumatera Barat, pada 2006 dan korban gempa di Kepulauan Mentawai tahun 2007.
Selain itu juga pada pemberian bantuan rumah bagi korban gempa di Padang Pariaman pada tahun 2009 dan korban gempa di Padang pada tahun yang sama. Hal serupa juga dilakukan untuk bantuan rumah yang dibangun bagi korban tsunami di Kepulauan Mentawai pada 2010.
Khusus di Kepulauan Mentawai, dengan akses transportasi yang lebih sulit, program bantuan yang dilakukan tetap berjalan relatif lancar. Sekat-sekat penghalang, seperti budaya dan keyakinan berbeda, pada sejumlah dusun dapat ditembus.
”Kalau segala sesuatunya jelas dan semua orang bisa menerima dengan benar, (pemberian) bantuan bisa berjalan lancar. Segala sesuatunya itu mesti disampaikan dengan jujur dan transparan,” ujar Agus.
Hal itu termasuk dengan berterus terang menanyakan langsung peran seperti apa yang bisa dilakukan masyarakat setempat. Dengan demikian, ada pembagian tugas yang bisa dilakukan sejak awal. ”Karena, selagi ada ketidakadilan pasti ada konflik. Selagi kita tidak jujur juga pasti ada konflik,” katanya.
Agus mengatakan, sebelumnya, dia awam tentang bagaimana menangani bantuan bagi korban bencana. Semuanya diawali tahun 2000 ketika dia bergabung dengan Pengembangan Sosial Ekonomi Caritas.
Awalnya, dia antara lain ikut mengembangkan koperasi, pertanian organik, serta usaha kecil dan menengah. ”Tahun 2006 terjadi gempa di Bukittinggi. Waktu itu, saya tidak punya uang, akhirnya buka dompet kemanusiaan dan terkumpul Rp 15 juta,” tuturnya.
Ia langsung belajar di lapangan pada saat itu juga. Ia mendapat sejumlah pengalaman berharga dalam pengelolaan bantuan kemanusiaan, termasuk paket-paket bantuan yang sempat raib tak tentu rimbanya.
”Belajar dari pengalaman-pengalaman itu, kesimpulan saya, jika tidak jelas dari awal (bantuan tersebut), semuanya akan keliru. Akhirnya, saya membuat sistem logistik, bantuan harus transparan sejak awal sehingga sampai ke penerima, manfaatnya pun jelas. Jika tidak, akan ada perselisihan,” kata Agus.
Menurut dia, kunci berjalannya sistem itu ialah pesan yang mesti disampaikan kepada masyarakat dengan jelas. Pesan itu harus dipastikan ditangkap mereka yang berkaitan dan sesuai dengan maksud yang sesungguhnya.
Lama-lama terbentuklah sistem yang saling berhubungan seperti rantai makanan. Ini penting, kata Agus, apalagi saat menangani bantuan pada masa tanggap darurat. Pasalnya, sejumlah masalah, seperti protes, bahkan penolakan, dari sebagian korban kemungkinan akan muncul. Konstelasi politik lokal juga sangat memengaruhi kelancaran pemberian bantuan.
Agus menekankan, sekalipun sempat ada kecurigaan atau bahkan penolakan dari sebagian korban bencana, masalah itu bisa diselesaikan dengan baik. Karena itu, imbuhnya, perbedaan latar belakang tak menjadi perhatian dalam memberikan bantuan. Di sini semata-mata soal kemanusiaan.
”Kuncinya, kita berbicara dengan jelas bahwa bantuan yang diberikan tidak ada embel-embel apa pun di belakangnya selain untuk kepentingan kemanusiaan,” ujarnya.
Prinsip kemanusiaan yang menghargai pluralitas dalam kelompok juga dijunjung tinggi dalam tim yang dipimpin Agus. Anggotanya terdiri atas beragam latar belakang budaya dan agama.
Ini penting karena, menurut Agus, dalam kondisi penanggulangan bencana kerap terjadi apriori tertentu yang bisa jadi dipicu oleh konsep alam bawah sadar seseorang. Guna mengatasi hal itu, ia selalu menekankan bahwa pengabdian dan pelayanan yang menjadi dasar pekerjaan sebagai ibadah, bukan semata upah berbentuk uang.
Hal penting lain yang juga dia lakukan adalah berada langsung di lapangan. Dia akan memercayai dan berbicara langsung dengan para korban.
Di sini, dia menempatkan diri dari perspektif korban, berusaha merasakan menjadi korban. ”Hasilnya, saya mendapat banyak sahabat dan saudara. Semakin murah hati seseorang, rezeki makin tambah,” katanya.
Bagi Agus, apa yang dilakukannya semata mengenai kebahagiaan hidup. Hal itu dia pelajari sejak tahun 1970-an ketika bertanya kepada seorang pastor dari Italia, Fantelli SX, mengenai motivasinya berkarya di Indonesia.
”Saat itu saya tanya mengapa, tetapi tidak dijawab oleh Pastor Fantelli. Jawabannya kemudian saya lihat pada keteladanan dan caranya menikmati hidup,” ungkapnya.
Namun, tokoh panutan bagi Agus tidak hanya satu orang. Dia banyak mencontoh kebijaksanaan hidup beberapa tokoh lain. Panutan tentang kecerdasan, kepemimpinan, dan berbagai aspek kehidupan dan kemanusiaan. Di sini termasuk inspirasi untuk menjalani keseluruhan proses agar bisa lebih ”menjadi” manusia.
”Semua (pekerjaan sebagai tugas dan kegiatan sosial) itu tidak saya anggap beban, tetapi inilah kesempatan untuk makin ’menjadi’...,” katanya. (Kompas, 22 Okt 2012)